Hari raya Idul Fitri
atau yang dalam Bahasa Jawa biasa dikenal dengan riyaya, memiliki berbagai
tradisi unik yang dari dulu hingga sekarang masih terus terjaga. Berbagai
tradisi ini pada dasarnya bertujuan untuk mempererat tali silaturahim diantara
keluarga, teman, dan masyarakat pada umumnya. Beberapa tradisi yang masih terus
dilestarikan dan hanya ada di Indonesia tersebut adalah mudik, halal bi halal,
takbir keliling sambil menabuh bedug, ketupat, pembagian THR, baju baru, dan
ziarah ke makam leluhur.
MUDIK
Mudik adalah agenda
tahunan yang dilakukan para perantau setiap tahunnya. Orang rela membayar mahal
untuk mendapatkan tiket kendaraan mudik, berdesak-desakan di dalam sarana
transportasi umum, macet dan panas di jalan raya, menempuh jarak puluhan bahkan
ratusan kilometer demi untuk bertemu dengan keluarga di kampong halaman.
Menurut Wikipedia,
mudik diartikan sebagai kegiatan perantau / pekerja migran untuk kembali ke
kampong halamannya. Dari asal katanya, mudik ternyata diambil dari Bahasa Jawa
ngoko “Mulih Dilik” atau pulang sebentar. Selanjutnya mudik dikaitkan dengan
kata “udik” yang artinya kampong, desa, dusun, atau daerah yang merupakan lawan
dari kota.
Menurut sejarah,
tradisi mudik sudah ada sejak zaman Majapahit. Pada saat itu, orang pulang ke
kampong halamannya untuk membersihkan makam para leluhur dengan maksud meminta
keselamatan dalam mencari rizki. Istilah mudik lebaran baru berkembang sekitar
tahun 1970, di saat kota Jakarta berkembang pesat menjadi pusat perekonomian
dan menarik masyarakat untuk bekerja merantau kesana.
HALAL
BI HALAL
Pengertian Halal Bi
Halal tidak bisa diterjemahkan secara bahasa, karena pendefinisian Halal Bi
Halal lahir dari kultur masyarakat Indonesia. Jika diterjemahkan menurut
lughowi-nya, lafadz “Halal” berasal dari bahasa arab yang merupakan lawan dari
kata haram dan memiliki arti “boleh / tidak dilarang”. Sedangkan “Bi” diartikan
“dengan”. Jadi secara bahasa, Halal Bi Halal diartikan “Boleh Dengan Boleh”.
Oleh karena itulah frase Halal Bi Halal tidak akan ditemukan dalam kamus bahasa
Arab baik klasik maupun modern, demikian juga dalam percakapan sehari-hari
bangsa Arab. Hal ini dikarenakan istilah Halal Bi Halal memang merupakan
istilah unik made in Indonesia.
Halal Bi Halal
merupakan budaya khas Indonesia, khususnya di Jawa, tapi istilah Halal Bi Halal
telah meng-Indonesia, meskipun istilah ini banyak mendapat kritik dari segi
bahasa.
Istilah Halal Bi
Halal dapat dilihat dari dua sisi. Pertama yaitu thalabu halal bi thariqin halal yang artinya mencari penyelesaian
masalah atau mencari keharmonisan hubungan dengan cara mengampuni kesalahan.
Kedua yaitu halal yujza’u bi halal
yang artinya pembebasan kesalahan dengan saling memaafkan. Sehingga secara
umum, Halal Bi Halal dapat diartikan sebagai saling memaafkan.
Dahulu, istilah Halal Bi Halal dikenal sebagai
Halalbihalal (ditulis tanpa spasi). Tradisi ini dimulai oleh Kanjeng Gusti
Pangeran Adipati Arya Mangkunegaran I atau dikenal dengan Pangeran Sumbernyawa
yang ketika itu memimpin Surakarta. Saat itu, Pangeran Sumbernyawa mengumpulkan
para punggawa dan prajurit di balai istana untuk sungkem kepada raja dan
permaisuri setelah perayaan Idul Fitri.
Sebelum dibakukan
menjadi kata dalam bahasa Indonesia, Halal Bi Halal sudah ditemukan dalam kamus
Bahasa Jawa – Belanda kumpulan Dr. Th. Pigeaud terbitan tahun 1938. Halal Bi
Halal dalam kamus tersebut tertera sebagai “alal behalal” dengan arti yang sama
dengan arti kata “halalbihalal” yang dibakukan dalam KBBI yakni acara
maaf-memaafkan pada hari lebaran.
Penggagas istilah
Halal Bi Halal ini adalah KH Abdul Wahab Chasbullah. Beliau adalah seorang
ulama besar yang kahrismatik dan berpandangan modern yang hidup pada masa awal
kemerdekaan Republik Indonesia. Pada tahun 1948, Indonesia sedang dilanda
gejala disintegrasi bangsa dengan maraknya berbagai pemberontakan seperti
DI/TII dan PKI Madiun. Para elite politik saling bersitegang, tak dapat
berdamai dalam berbagai kesempatan.
Pada pertengahan
bulan Ramadhan tahun 1948, Presiden Soekarno memanggil KH Abdul Wahab
Chasbullah ke istana untuk dimintai pendapatnya mengenai situasi politik
Indonesia yang kurang kondusif. KH Abdul Wahab Chasbullah pun mengusulkan untuk
mengumpulkan para elite politik dalam suatu forum silaturahmi. Karena dianggap
biasa, maka istilah silaturahmi diganti dengan istilah Halal Bi Halal, yang
pada waktu itu diartikan sebagai sarana untuk menghapuskan dosa dari hal-hal
yang haram.
Ada banyak pedoman
baik dari Al Qur’an maupun Hadits sebagai tuntunan dalam menjalin tali
silaturahmi dengan sesama manusia. Diantaranya disebutkan dalam Al Qur’an surat
Ar Ra’du ayat 21 yang artinya “Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang
Allah swt perintahkan supaya dihubungkan (yaitu mengadakan hubungan silaturahmi
dan tali persaudaraan)”. Selain itu, di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan
oleh Tirmidzi juga disebutkan bahwa “Tidak ada dua orang muslim yang bertemu
kemudian bersalaman kecuali dosa keduanya diampuni oleh Allah swt sebelum
mereka berpisah”. Sementara itu dalam sebuah hadits riwayat Bukhori disebutkan
bahwa barangsiapa ingin dilapangkan rizqinya dan dipanjangkan umurnya,
hendaklah ia menghubungkan tali persaudaraan (silaturahmi). Dalam sebuah hadits
yang lain disebutkan bahwa tidak akan masuk surga seorang pemutus tali
persaudaraan (HR Bukhori Muslim). Karena itulah silaturahmi sangat diperlukan
dalam kehidupan bermasyarakat demi terciptanya persatuan dan kesatuan bangsa.
TAKBIR
KELILING
Tradisi takbir
berkeliling sambil menabuh bedug dan bunyi-bunyian lainnya, terkadang dengan
membawa obor dan aneka lampu hias juga telah membudaya di berbagai daerah di
Indonesia. Sebenarnya tidak ada tuntunan khusus mengenai tradisi ini. Namun
hendaknya takbiran pada saat Idul Fitri dimulai sejakl maghrib malam tanggal 1
syawal hingga selesainya shalat Ied. Hal ini berdasarkan firman Allah swt dalam
Al Qur’an surat Al Baqarah ayat 185 yang artinya “…hendaklah kamu mencukupkan
bilangannya (puasa) dan hendaklah kamu mengagungkan Allah (bertakbir) atas
petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu. Ayat ini menjelaskan bahwa ketika orang
sudah selesai menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan, maka disyariatkan
untuk mengagungkan Allah dengan bertakbir.
Sementara itu
disebutkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibn Abi Syaibah bahwa
Nabi Muhammad saw keluar rumah menuju lapangan kemudian beliau bertakbir hingga
tiba di lapangan. Beliau tetap bertakbir hingga shalat selesai. Setelah
menyelesaikan shalat, beliau menghentikan takbir. (HR Ibn Abi Syaibah dalam Al
Mushannaf 5621). Dari hadits ini dapat diketahui bahwa takbiran Idul Fitri
dapat dilakukan dimana saja dan kapan saja, artinya tidak harus di masjid. Yang
perlu diperhatikan adalah saat mengadakan takbir kelililing janganlah lupa
untuk tetap mematuhi peraturan lalu lintas demi keselamatan diri sendiri dan
orang lain.
KETUPAT
Ketupat adalah sebuah
panganan yang terbuat dari beras yang dibungkus dengan janur (daun kelapa yang
masih muda) kemudian direbus dalam waktu yang lama. Ada berbagai bentuk
ketupat, ada yang segi empat ada yang segi panjang. Ketupat biasanya disajikan
saat Hari Raya Idul Fitri, disantap bersama dengan opor ayam. Ada pula yang
mengkombinasikan ketupat dengan sayur lodeh (sayur pedas bersantan) dan
ditaburi dengan bubuk kedelai.
Dari berbagai sumber
sejarah, diketahui bahwa ketupat telah ada sejak abad 15-16, yakni saat Sunan
Kalijaga menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa. Ada pula yang berpendapat bahwa
ketupat (kupat) sudah ada sejak zaman Hindu – Budha di nusantara. Di Bali, ada
makanan sejenis ketupat yang berasal dari beras dibungkus daun nyiur yang
dinamakan tipat dan digunakan dalam berbagai acara ritual ibadah.
Dilihat dari segi
bahasa, kupat berasal dari bahasa Jawa “ngaku lepat” yang artinya mengakui
kesalahan. Ada pula yang berpendapat kupat berasal dari kata “laku papat” yang
artinya empat tindakan. Empat tindakan dalam perayaan lebaran yang dimaksud
adalah (1) Lebaran, yang artinya usai, menandakan berakhirnya waktu puasa.
Lebaran berasal dari kata “lebar” yang diartikan sebagai pintu ampunan telah
terbuka lebar. (2) Luberan yang diartikan meluber / melimpah, sebagai simbol
ajaran bersedekah untuk kaum miskin. Pengeluaran zakat fitrah menjelang lebaran
merupakan wujud kepedulian kepada sesama manusia. (3) Leburan yang diartikan
habis dan melebur, dosa dan kesalahan akan melebur karena memaafkan satu sama
lain. (4) Laburan yang diartikan labur / kapur. Kapur adalah zat penjernih air
yang dimaknai menjaga kesucian lahir batin satu sama lain.
Tradisi sungkeman
menjadi implementasi ngaku lepat. Prosesi sungkeman yakni bersimpuh di hadapan
orang tua seraya memohon ampun. Sungkeman mengajarkan pentingnya menghormati
orang tua, bersikap rendah hati, memohon keikhlasan dan ampunan dari orang lain
khususnya orang tua.
THR
THR (Tunjangan Hari
Raya) merupakan hak pendapatan pekerja yang wajib dibayarkan oleh pengusaha
kepada pekerja menjelang hari raya keagamaan yang berupa uang.
Pemberian THR berawal
pada masa Presiden Soekarno tepatnya pada era kabinet Soekiman Wirjosandjojo
yang dilantik pada tahun 1951. Maksud dari pemberian THR ini adalah untuk
meningkatkan kesejahteraan pamong praja (Pegawai Negeri Sipil) berupa uang
sejumlah Rp 125,00 dan tunjangan berupa beras di akhir Ramadhan. Pemberian THR
ini memicu aksi buruh hingga menyebabkan aksi mogok pada tanggal 13 Pebruari
1952.
Pada tahun 1994, THR
baru diatur secara resmi melalui Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI no. 4 / 1994
tentang THR bagi pekerja di perusahaan. Peraturan ini direvisi pada tahun 2016
dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja no. 6 / 2016. Upaya perbaikan peraturan
ini tentunya dimaksudkan untuk mengurangi kesenjangan antara pihak-pihak yang
menerima THR dan yang tidak.
Istilah THR ini telah
mengalami perluasan makna. Orang-orang dewasa biasanya memberikan “angpao”
kepada anak-anak berupa pecahan uang mulai yang bernilai Rp2.000,00,
Rp5.000,00, Rp10.000,00 ataupun Rp20.000,00 yang dimasukkan kedalam berbagai
amplop mini yang menarik. Anak-anak dengan senang hati akan menerimanya.
BAJU
BARU
Di penghujung bulan Ramadhan biasanya
pusat-pusat perbelanjaan yang menjual aneka produk fashion ramai diserbu
konsumen. Pasar-pasar berlomba-lomba menawarkan berbagai model baju dengan
harga yang bersaing. Mall-mall juga menawarkan diskon yang menarik bahkan sejak
awal bulan Ramadhan.
Tradisi berbaju baru
saat lebaran ini sebenarnya sudah ada sejak tahun 1596. Dalam buku Sejarah
Nasional Indonesia karya Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto dijelaskan
ketika menyambut lebaran mayoritas penduduk di bawah kerajaan Banten sibuk
menyiapkan baju baru. Namun kebanyakan dari mereka, menjahit sendiri bajunya,
tidak membeli baju baru yang sudah jadi. Kondisi senada juga terjadi di Kerajaan
Mataram (Jogjakarta).
Meskipun tidak ada
keharusan mengenakan baju baru saat lebaran, namun tradisi baju baru sudah
tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Hal ini dimungkinkan karena momen
lebaran banyak digunakan untuk berkumpul dengan keluarga besar, teman, dan
tetangga sehingga masyarakat ingin tampil beda.
ZIARAH
KE MAKAM LELUHUR
Di nusantara, tradisi
ziarah ke makam leluhur telah ada sejak zaman Hindu – Budha. Pada masa penyebaran
agama Islam oleh walisongo, tradisi ziarah kubur ini mendapat sentuhan yang
bersesuaian dengan ajaran Islam.
Antara puasa, hari
raya, dan ziarah kubur mungkin dapat ditarik relasinya sebagai berikut. Puasa
merupakan momentum tazkiyatun nafsi atau penyucian jiwa, sementara hari raya
adalam momentum untuk saling memaafkan. Sedangkan ziarah kubur adalah momentum
untuk mengingat kematian dan dzikral maut. Sehingga jika seseorang sudah
melaksanakan puasa dan merayakan hari raya, serta malakukan ziarah kubur, maka
akan lengkaplah sisi kerohaniahan, sisi kemanusiaan, dan relasi antar keduanya.
PENDIDIKAN
KARAKTER DALAM TRADISI ARIYAYAN
Hari Raya Idul Fitri
(Lebaran) selalu membawa kegembiraan bagi semua orang. Selain itu, ada banyak
pendidikan yang dapat ditanamkan pada anak melalui berbagai tradisi ariyayan.
Tradisi mudik dapat
digunakan oleh orang tua untuk melatihkan kesabaran kepada anak. Di perjalanan,
tentulah para pemudik akan menemui berbagai situasi yang kurang menyenangkan
seperti panas, macet, berdesakan dengan para pengguna sarana transportasi
lainnya. Disitulah orang tua dapat menanamkan pentingnya sabar pada anak. Anak
juga dapat diajarkan untuk saling membantu dengan ikhlas selama dalam
perjalanan.
Tradisi Halal Bi
Halal mengajarkan kepada anak untuk menghormati orang yang lebih tua dan
menyayangi teman sebaya serta orang yang lebih muda. Pemberian “angpao” juga
melatihkan kebiasaan sedekah kepada kita semua. Sementara bagi anak-anak,
kebiasaan mengucapkan “terimakasih” merupakan bentuk dari rasa syukur dan
menghargai pemberian orang lain.
Tradisi menabuh
bedug, makan ketupat, dan ziarah ke makam leluhur, meskipun tidak harus selalu
dilakukan, dapat menambah wawasan anak bahwa masyarakat memiliki banyak sekali
keragaman budaya yang harus disikapi dengan toleransi demi terciptanya
kerukunan hidup.
Tradisi berbaju baru
juga dapat digunakan orang tua untuk melatihkan sikap mensyukuri segala nikmat
yang telah dianugerahkan Allah swt sehingga para orang tua mampu membelikan
baju baru untuk mereka. Sebenarnya masih banyak tradisi yang biasa dilakukan
orang pada saat lebaran, misalnya menyajikan aneka jajanan, menyalakanpetasan,
hingga berekreasi. Satu hal yang perlu diingat adalah jangan sampai momen
lebaran menjadikan kita berperilaku konsumerisme, membeli aneka barang yang
sebenarnya tidak terlalu kita butuhkan. Kita harus ingat bahwa masih banyak
kebutuhan lainnya yang menanti setelah lebaran berlalu, apalagi jika momen
lebaran berbarengan dengan tahun ajaran baru yang tentunya akan memerlukan
banyak dana untuk biaya sekolah putra putri kita. Semoga kita senantiasa dapat
berperilaku bijak…..
1 Komentar
Keren bangeeeeet bu yanuaaar....tarian jemari panjenengan selalu membuahkan hasil yg indah. Semoga semakin berkah
BalasHapus