SEMANGAT KARTINI SI PENJAJA RUJAK SUNGGI
Perawakannya kecil, namun tenaga dan semangatnya
luar biasa besar. Mungkin itulah gambaran yang dapat disematkan kepada Bok
Maryam, si penjaja rujak sunggi yang hampir setiap siang melintas di depan
rumah penulis. Dapat dipastikan sekitar pukul setengah dua siang, Bok Maryam akan melintas
dari arah timur dengan membawa dagangannya yang berupa rujak cingur. Caranya
yang unik dalam membawa dagangannya inilah (sunggi = membawa barang dengan cara
meletakkan barang tersebut di atas kepala) yang membuat penulis tergelitik
untuk mengabadikan kisahnya dalam bentuk tulisan.
Tidak mudah memang profesi yang dilakoni Bok Maryam.
Lapaknya berisi sayuran yang telah direbus, cingur, tahu dan tempe goreng, mentimun,
bumbu rujak yang terdiri dari kacang tanah goreng, cabe, pisang klutuk, bawang
goreng, petis, dan gula merah, serta ceret berisi air matang. Ada pula kerupuk
yang diletakkan dalam tas kresek besar. Bagian
paling berat dalam lapak Bok Maryam ini mungkin adalah lemper dan ulekan.
Karena beratnya ini, Bok Maryam tidak menggunakan lemper dan ulekan dari batu,
melainkan dari tanah liat saja.
Untuk meletakkan lapaknya di atas kepala, terlebih
dulu Bok Maryam meletakkan segumpal kain sehingga lapak kayunya tidak langsung
menempel di kepalanya. Selain lapak di atas kepalanya tersebut, ia masih harus
membawa bakul besar berisi daun kelapa sebagai pembungkus dan juga
untuk membawa dingklik (kursi kecil) sebagai tempat duduk saat ia meracik
rujaknya.
Setiap hari, Bok Maryam menjajakan dagangannya dengan
berkeliling melintasi beberapa desa, menempuh jarak sekitar 10 hingga 12
kilometer. Jika sedang beruntung, dagangannya bisa saja habis terjual saat ia
mangkal di depan Rumah Sakit Bhayangkara Tulungagung. Namun tentu saja hal itu
tidak dapat terjadi setiap hari. Ia harus dengan sabar menyusuri jalanan demi
mengais rezeki sambil membawa lapak di kepalanya. Satu keyakinannya bahwa Tuhan
Maha Pengasih, Dia akan memberi rezeki kepada makhluknya yang tetap berusaha dan
tak mudah putus asa.
Bok Maryam adalah seorang perempuan dari Pulau
Madura yang mencoba peruntungannya di Jawa Timur, tepatnya di Kabupaten
Tulungagung. Pada tahun 1990, ia memulai perantauannya, mengikuti jejak saudara
dan tetangganya yang telah terlebih dulu sampai dan menetap di Tulungagung. RT
03 RW 03 Kelurahan Bago Kecamatan Kota Kabupaten Tulungagung memang terkenal
sebagai Kampung Madura karena keberadaan para perantau yang berasal dari Pulau
Madura, yang akhirnya menetap. Mata pencaharian warga Madura ini bervariasi, mulai
dari pedagang soto daging, soto ayam, sate ayam, rujak cingur, pengepul rosokan,
penjahit konveksi, dan penjahit karung goni. Areal perkampungan yang ditempati
warga Madura ini awalnya adalah milik Kyai Haji Bisri, yang merupakan sesepuh
desa.
Ada beberapa perempuan di Kampung Madura ini yang
berprofesi seperti Bok Maryam, sebagai Penjaja Rujak Sunggi. Beberapa yang
berhasil diwawancarai oleh penulis ternyata awal merantau ke Jawa Timur karena
menghindari tradisi Kawin Muda yang memang sudah dianggap lumrah di Pulau Madura.
Ya, di Madura memang ada tradisi Kawin Muda dimana masyarakat adat melakukan
perkawinan bahkan saat pengantinnya belum baligh. Kisaran umur perempuan yang
menikah muda antara 3-15 tahun, sedangkan laki-laki antara 0-20 tahun.
Beberapa hal yang mendasari tradisi Kawin Muda
adalah adanya opini tentang banyaknya kaum perempuan daripada laki-laki dengan
perbandingan 1:10. Dari sudut pandang inilah, masyarakat adat Madura melakukan
perjodohan sedini mungkin dikarenakan takut anak perempuan mereka nantinya tidak
bisa mendapatkan pasangan hidup.
Tradisi Kawin Muda juga dapat terjadi karena adanya
perasaan hutang budi. Perjodohan karena hutang budi ini bahkan bisa
direncanakan sejak dalam kandungan. Tinggal menunggu lahirnya si jabang bayi
apakah terlahir dengan jenis kelamin yang berbeda, apabila terlahir dengan
jenis kelamin yang sama maka perjodohan tersebut batal. Perjodohan juga bisa ditujukan
untuk mengeratkan kembali hubungan keluarga yang mulai menjauh. Disini mereka
merasa antar kedua keluarga sudah mengenal latar belakang keluarga
masing-masing, baik garis keturunan, bibit, bebet, dan bobotnya.
Hal ini
seperti yang dituturkan oleh Bok Uminah, perempuan warga Kampung Madura yang
juga berprofesi sebagai penjaja rujak sunggi. Ia merantau ke Tulungagung sejak
tahun 1999, demi “lari” dari tradisi Kawin Muda. Keluarganya waktu itu berniat
menikahkannya dengan seorang pemuda tetangga desanya, padahal waktu itu ia
masih berusia 12 tahun. Kini, Bok Uminah telah menetap di Tulungagung dan
menekuni profesinya sebagai pedagang rujak cingur. Perempuan satu putra ini
bertekad memberikan pendidikan terbaik bagi putra semata wayangnya, agar
memiliki masa depan yang lebih baik dari dirinya.
Ada sedikit yang membedakannya dengan Bok Maryam.
Bok Uminah tidak lagi menjajakan rujaknya dengan cara disunggi, tapi sudah
membuka lapaknya secara menetap di sebuah kios yang disewanya. Hal yang sama
juga dilakukan oleh Bok Ase, Bok Samiyeh, dan beberapa penjaja rujak sunggi
lainnya.
Bertepatan dengan peringatan Hari Kartini ini, mungkin
tidak ada salahnya jika mengutip beberapa catatan dari Raden Ajeng Kartini. “Tiada
awan di langit yang tetap selamanya. Tiada mungkin akan terus-menerus terang
cuaca. Sehabis malam gelap gulita lahir pagi membawa keindahan. Kehidupan
manusia serupa alam. Teruslah bermimpi, teruslah bermimpi, bermimpilah selama
engkau dapat bermimpi! Bila tiada bermimpi, apalah jadinya hidup! Kehidupan
yang sebenarnya kejam.” Mimpi merupakan suatu hal yang mahal, sebab tidak semua
orang berani bermimpi. Raden Ajeng Kartini memberikan nasihat kepada kita semua
untuk terus bermimpi dan menjaganya. Jangan mudah menyerah untuk mewujudkan
mimpi, jadilah perempuan-perempuan tangguh yang punya mimpi hebat seperti para
penjaja rujak sunggi.
“Kita harus membuat sejarah. Kita mesti menentukan masa depan yang sesuai dengan keperluan sebagai kaum perempuan dan harus mendapat pendidikan yang cukup seperti kaum laki-laki”, demikian catatan lebih lanjut dari Raden Ajeng Kartini. Selamat Hari Kartini!.
0 Komentar