Hari masih pagi saat saya berkesempatan mengunjungi desa kelahiran ibuku yakni Desa Pojok, yang termasuk dalam wilayah Kecamatan Campurdarat Kabupaten Tulungagung. Desa tersebut menyimpan sejarah dan menjadi saksi perjalanan gerilya Jenderal Sudirman. Hal ini terlihat dari sebuah tugu yang dibangun untuk mengenang perjuangan beliau. Di pertigaan pasar Desa Pojok, terdapat sebuah gapura bertuliskan “Luhuring Karya Raharjaning Praja” dan di bagian depan gapura inilah letak dari tugu yang dipersembahkan sebagai tanda peringatan pejuangan gerilya Jenderal Sudirman. Pada tugu tersebut terdapat tulisan : Pewaris, Tugu ini dibangun untuk memperingati perjuangan rakyat desa Podjok dan sekitarnya bersama-sama ABRI dalam melawan pendjadjah Belanda didalam clash ke-II th 1949. Tugu ini diresmikan pada tanggal 17 Desember 1970.
Berdasarkan letak geografisnya, desa Pojok berbatasan dengan Desa Tanggung di bagian di bagian utara, Desa Pelem di bagian selatan, Desa Wates di bagian Barat, dan Kecamatan Tanggunggunung di bagian timur. Desa Pojok terbagi menjadi 3 dusun yakni dusun Pojok, dusun Gedangsewu, dan dusun Secang dan juga terbagi menjadi 6 RW dan 31 RT.
Memasuki desa Pojok dari gapura ke arah timur, akan dengan mudah ditemui perkebunan tembakau yang dibudidayakan oleh masyarakat. Tanaman tembakau dapat tumbuh dengan baik di desa Pojok ini dikarenakan karakter kondisi lingkungan dan cuacanya yang sesuai untuk pertumbuhan tanaman tembakau. Tembakau memerlukan kondisi lingkungan tertentu untuk bisa ditanam, yakni tumbuh di ketinggian antara 200 hingga 3000 meter dengan iklim yang hangat dan kering dengan curah hujan rata-rata 1500 hingga 2000 mm per tahunnya. Dikarenakan tembakau tidak memerlukan air dan hujan yang berlebihan, maka suhu yang paling ideal untuk penanaman tembakau adalah 21 hingga 32 derajat Celcius. Tembakau akan sangat bagus hasilnya jika ditanam di puncak musim kering atau kemarau, biasanya di bulan Agustus atau di akhir musim penghujan di bulan Maret.
Gambar 1. Hamparan kebun tembakau (foto koleksi pribadi)
Gambar 2. Kebun tembakau siap panen (foto koleksi pribadi)
Berhektar-hektar kebun tembakau terhampar di lereng bukit, sementara itu di sepanjang desa terdapat anyaman-anyaman bambu berisi daun tembakau yang telah dirajang dengan mesin pemotong khusus. Rajangan daun tembakau ini dijemur hingga kering dan sesekali disemprot dengan air sari pohon secang agar didapatkan warna tembakau yang memerah.
Di desa ini ada seorang pengepul tembakau yang telah memulai usahanya sejak tahun 1980. Biasanya hasil produksi tembakau dari warga sekitar disetor ke pengepul ini untuk selanjutnya dijual ke pengepul yang lebih besar atau diambil oleh pengusaha yang memproduksi rokok.
Selain usaha tembakau, di sepanjang jalan desa Pojok, khususnya dusun Secang, banyak ditemukan warga yang membuka usaha batu hias. Sepihan-serpihan kecil batu direkatkan dengan lem resin hingga ukuran tertentu dan kemudian dihaluskan dengan gerinda. Batu hias ini digunakan untuk ubin penutup lantai maupun dinding. Sebagai perajin batu hias, kebanyakan warga dusun Secang ini hanyalah pekerja yang diupah berdasarkan banyaknya ubin hias yang dihasilkan. Adapun bahan biasanya dipasok oleh pengusaha batu hias yang ada di Kecamatan Karangrejo. Pemasok bahan ini sekaligus sebagai pengepul batu hias yang dihasilkan warga.
Saat aku mengunjungi Desa Pojok ini, warga tampaknya tengah panen. Ya, sebagian warga memang bekerja di sektor pertanian dengan tanaman utama adalah padi dan tanaman palawija lainnya terutama jagung. Hal ini terlihat dari hamparan gabah dan jagung yang tengah dijemur di halaman-halaman rumah. Bidang pertanian ini banyak diusahakan oleh para kaum tua, sedangkan para pemuda desa ini lebih tertarik menjadi perantau ke luar Pulau Jawa seperti di Kalimantan, Sumatera, maupun Sulawesi. Dan tak sedikit pula para pemuda desa ini yang mengais ringgit di negeri Jiran Malaysia. Rumah-rumah desa yang dulunya sangat sederhana berdinding bambu, kini telah banyak yang berganti dengan rumah mewah dilengkapi dengan mobil didalam garasinya berkat kegigihan para pemuda mengais rizki di luar negeri.
Fasilitas desa juga banyak yang diperbaiki secara gotong royong oleh warga yang memiliki rejeki berlebih setelah bekerja di luar negeri, salah satunya adalah jembatan Sidodadi yang dulunya hanya berupa jembatan dari bambu.
Gambar 6. Prasasti pembangunan Jembatan Sidodadi (foto koleksi pribadi)
Geliat pembangunan sangat terasa di desa ini. Jalan desa yang dulu berupa jalan setapak yang becek saat musim penghujan, kini telah berganti menjadi jalan cor beton. Apalagi dengan rencana pemerintah untuk mengembangkan perekonomian melalui sektor pariwisata yang nampaknya mulai direalisasikan. Sejak awal bulan Ramadhan hingga menjelang hari raya Idul Fitri tahun 2018 jalan desa telah dilebarkan hingga mencapai 8 meter. Rencananya jalan yang diperlebar ini akan menghubungkan Desa Pojok dengan Desa Pagersari Kecamatan Kalidawir. Oleh jarena itulah jalan ini dinamakan Jalan Posari (dari kata Pojok – Pagersari).
Dikarenakan medannya yang naik turun dan berkelok-kelok, maka sangat tepatlah jika warga memanfaatkan Jalan Posari sebagai jalur untuk olahraga sepeda gunung dan motor trail. Olahraga ini akan marak pada hari Ahad.
Di bagian atas Jalan Posari, jalan akan terbagi dua. Bagian yang ke kanan akan mengarah ke bukit Sikutan dan bagian yang ke kiri mengarah ke bukit Ploso Mukti. Di bukit Sikutan tengah dimulai pembangunan sarana dan prasarana Agro Wisata Buah Naga Bukit Sikutan.
Sementara itu di sepanjang jalan yang menuju puncak bukit Ploso Mukti, telah berdiri kios-kios makanan dengan aneka jajanannya. Ya, puncak bukit ini memang telah dimanfaatkan sebagai titik start olahraga paralayang dengan titik finish di Desa Pagersari Kecamatan Kalidawir. Dari puncak bukit Ploso Mukti ini kita dapat melihat kota Tulungagung yang terhampar dengan begitu indah. Namun disayangkan, akibat kegiatan pelebaran jalan, banyak sekali tanaman secang yang dibabat sehingga udara di sepanjang jalan menjadi terasa sangat panas dan kering.
Semula, di sepanjang jalan setapak menuju puncak Ploso Mukti banyak ditemukan tanaman secang. Mungkin karena banyaknya tanaman inilah salah satu dusun di Desa Pojok dinamakan Dusun Secang. Secang sendiri adalah tanaman perdu anggota suku polong-polongan yang dimanfaatkan papagan (kulit kayunya) dan kayunya sebagai rempah-rempah. Asal tumbuhan ini tidak diketahui dengan pasti, namun telah lama dibudidayakan di wilayah India dan Asia Tenggara sebagai bahan pewarna dan obat tradisional. Secang kebanyakan tumbuh secara alami di lahan-lahan yang berlereng pada tanah-tanah yang liat atau berbatu dan ada kalanya di tanah berpasir dekat sungai (meskipun sebenarnya tanaman ini tidak tahan terhadap genangan air).
Batang tanaman Secang dipenuhi duri dengan kulit kayunya berwarna cokelat keabu-abuan. Ranting muda dan kuncup berambut halus kecokelatan. Daunnya menyirip ganda dengan tulang daun utama sepanjang 25-40 cm dan 9-14 pasang tulang daun samping. Anak daun sebanyak 10-20 pasang di tiap tulang daun samping, berhadapan, berbentuk lonjong sepanjang 10-25 mm dan lebar 3-11 mm. Daun-daun ini mudah gugur. Perbanyakan tanaman ini dapat terjadi secara generatif melalui bijinya. Buah polong tanaman secang berbentuk lonjong asimetris dengan ujung seperti paruh burung. Buah ini berisi 2-4 biji yang berwarna hijau kekuningan yang akan berubah menjadi merah kecokelatan jika telah masak.
Tanaman secang terutama dimanfaatkan kayunya sebagai penghasil zat warna untuk makanan, pakaian, anyaman, tembakau, dan barang lainnya. Kayu secang sempat menjadi komoditas perdagangan antar bangsa hingga akhir abad ke-19. Setelah itu nilainya terus turun dikarenakan kalah bersaing dengan pewarna sintetik.
Kandungan utama dari kayu secang adalah brazilin yang telah teruji secara ilmiah bersifat antioksidan, antibakteri, antiinflamasi, hypoglycemic (menurunkan kadar lemak), vasorelaxant (merelaksasi pembuluh darah), hepatoprotective (melindungi hati), dan anti jerawat. Ekstrak kayu secang juga ditengarai berkhasiat anti-tumor, anti-virus, immunostimulant, dan lain-lain.
Di Pulau Jawa, potongan-potongan kayu secang biasanya dimanfaatkan sebagai campuran bahan jamu. Jika di daerah Jogjakarta kayu secang digunakan sebagai bahan pembuatan minuman khas wedang uwuh, maka di Tulungagung kini juga telah banyak dijumpai wedang secang yang memanfaatkan potongan kayu ini untuk minuman, dilengkapi dengan bahan lain seperti jahe dan batang sereh.
Keindahan warna kayunya membuat secang juga banyak digunakan untuk membuat berbagai perkakas rumah tangga. Namun dikarenakan tidak adanya lembaran kayu secang dalam ukuran besar, maka kayu secang banyak digunakan untuk membuat perkakas yang kecil seperti lis pigora, dll. Batangnya yang dipenuhi duri juga menyebabkan tanaman secang banyak dimanfaatkan warga sebagai pagar pada hutan jati. Mengingat demikian banyaknya manfaat tanaman secang, maka akan sangat disayangkan jika tanaman secang ini hilang.
Kembali ke cerita Desa Pojok. Geliat pembangunan di desa ini memang tampak nyata. Jika mengingat sejarah Desa Pojok yang pernah menjadi salah satu rute gerilya Jenderal Besar Sudirman, maka sudah sepantasnyalah jika pada usaha pengembangan Pojok sebagai destinasi wisata ditanamkan nilai-nilai perjuangan gerilnya Sang Jenderal dalam meraih kemerdekaan. Hal ini bisa dilakukan misalnya dengan membangun galeri atau semacam museum mini yang berisi foto-foto dan buku-buku yang menunjukkan perjuangan beliau. Hal ini bertujuan agar semangat juang Jenderal Sudirman dapat diketahui dan diteladani oleh generasi masa depan. Tentu saja ini hanya sekedar usul, tapi aku akan sangat bersyukur jika hal itu dapat terwujud.
Di salah satu sudut jalan menuju Puncak Ploso Mukti terdapat sebuah pohon yang menarik perhatianku. Di tengah daerah yang kering itu ternyata ada pohon yang tampak begitu cantik. Kata pemandu yang mendampingiku, warga sekitar menyebut pohon itu sebagai bunga Ploso. Hanya ada empat pohon Ploso di bukit itu dan warga memanfaatkannya sebagai pengingat akan datangnya musim penghujan. Pohonnya tinggi dengan bunga berwarna orange cerah. Jika seluruh bunga dari pohon Ploso telah habis jatuh berguguran, maka dapat dipastikan musim hujan akan segera datang.
Tak terasa perjalananku telah sampai di puncak Ploso Mukti. Pemandangan kota Tulungagung tampak begitu indah. Udara terasa sejuk saat menikmati arena outbond yang ada di bawah rimbunnya tanaman akasia sembari menyeruput es tebu dari sebuah kios makanan. Subhanallah walhamdulillah walaa ilaaha illallah…. Hanya itu yang dapat kuucapkan menyaksikan segala keindahan ini. Betapa sempurna alam semesta mahakarya Allah swt yang Rahman dan Rahim ini….
Gambar
13. Pemandangan dari atas puncak Bukit Ploso Mukti (foto koleksi pribadi)
0 Komentar