KERIPIK GADUNG, UMBI BERACUN YANG KAYA MANFAAT

 


      TANAMAN GADUNG

 Umbi Gadung (Dioscorea hispida) termasuk dalam umbi-umbian yang cukup populer di Indonesia. Tanaman ini memiliki beberapa nama seperti janeng (Aceh), bitule (Gorontalo), gadu (Bima), gadung (Bali, Jawa, Madura, Sunda), iwi (Sumba), kapak (Sasak), salapa (Bugis), dan sikapa (Makasar). Hal ini menunjukkan luasnya penyebaran tanaman gadung di Indonesia. Dari nama gadung ini muncul istilah "gadungan" (yang berarti palsu atau tiruan), karena gadung serupa dengan ubi gembili tetapi umbinya beracun, sehingga "membohongi".

Tumbuhan gadung berbatang merambat ke atas pada tanaman lain yang berbatang keras dengan panjang 5 –20 meter. Arah rambatannya selalu berputar ke kiri (melawan arah jarum jam, jika dilihat dari atas). Ciri khas ini penting untuk membedakannya dari gembili (D.aculeata) yang memiliki penampilan mirip namun batangnya berputar ke kanan.

Batangnya ramping, setebal 0,5–1 centimeter, berwarna hijau keabu-abuan, ada yang ditumbuhi duri dan ada yang tidak. Daun-daunnya tipis terletak berseling, dengan tiga anak daun menjari, berbentuk bundar telur atau bundar telur sungsang. Bunga jantan terkumpul dalam tandan di ketiak sedangkan bunga betina majemuk berbentuk bulir. Mahkota bunganya berwarna kuning, benang sarinya berjumlah enam, dan berwarna kuning juga. Umbinya terbentuk dalam tanah, berjumlah banyak dan tak beraturan bentuknya, menggerombol dalam kumpulan hingga selebar 25 cm. Sementara buahnya, berbentuk elips, berdaging, berdiameter lebih kurang 1 cm, dan berwarna coklat.

Gambar 1. Tanaman Gadung (foto koleksi pribadi)

 Ada beberapa varietas gadung, di antaranya yang berumbi putih (yang besar dikenal sebagai gadung punel atau gadung ketan, sementara yang kecil berlekuk-lekuk disebut gadung suntil), dan yang berumbi kuning (antara lain gadung kuning, gadung kunyit atau gadung padi).

Tanaman gadung ini dapat tumbuh pada ketinggian 800 meter di atas permukaan laut, namun bisa juga ditemui pada ketinggian 1200 meter. Umbi ini umumnya tidak dapat tumbuh pada daerah dengan suhu rata-rata di bawah 20 derajat Celcius. Kebutuhan curah hujannya paling rendah 1000 mm/tahun dengan musim kemarau tidak lebih dari 2-4 bulan.

Umbi gadung dikenal sangat beracun. Jika seseorang mengonsumsi umbi yang masih mengandung racun, maka efek pertama yang akan dirasakan akan berupa rasa tidak nyaman di tenggorokan, yang berangsur-angsur menjadi rasa terbakar, diikuti oleh rasa pusing, muntah darah, rasa tercekik, mengantuk, dan kelelahan. Sebagai gambaran, umbi gadung sebesar apel yang dikonsumsi, dapat membunuh seorang laki-laki dalam waktu 6 jam. Oleh karena itulah, ada yang memanfaatkan umbi gadung sebagai racun ikan dan untuk mengolesi ujung panah yang akan digunakan untuk berburu. Sementara itu, umbi gadung dapat juga difermentasi menjadi arak sehingga di Malaysia umbi gadung disebut juga sebagai umbi arak. Keracunan dalam tingkat ringan, dapat diatasi dengan meminum air kelapa muda.

Senyawa beracun dalam umbi gadung ada dua jenis yaitu dioskorin dan dihidroskorin. Dioskorin merupakan senyawa protein yang termasuk golongan alkaloid yang rasanya sangat pahit, biasanya berwarna kuning kehijauan, bersifat basa kuat, dapat larut dalam berbagai pelarut seperti air, alkohol, aseton, dan kloroform, namun sukar larut dalam eter dan benzen. Berbagai referensi menyebutkan bahwa senyawa alkaloid dalam umbi gadung sekitar 0,38 – 1,68 miligram per 100 gram umbi. Hal ini tergantung jenis umbi, umur panen, lokasi penanaman, dan penanganan umbi. Sementara itu, dihidroskorin adalah turunan (derivat) dari dioskorin. Senyawa ini juga bersifat toksid. Kedua senyawa ini dapat menyebabkan kelumpuhan saraf pusat. 

Disamping dioskorin, umbi gadung juga mengandung racun sianida bebas dalam bentuk asam sianida (HCN). Keracunan sianida tidak selalu muncul segera. Korban keracunan biasanya mengalami kulit kemerahan, napas terengah-engah, detak jantung lebih cepat, sakit kepala dan pusing.

Gejala keracunan setelah mengonsumsi keripik gadung dapat dikategorikan dalam tiga tingkatan. Keracunan ringan ditandai dengan mual, pusing, dan mengantuk. Sedangkan keracunan sedang ditandai oleh hilang kesadaran, kejang, muntah, dan sianosis (kebiruan pada kulit). Sementara itu, keracunan parah ditandai oleh koma, pembesaran pupil, gangguan fungsi pernafasan, dan dapat menyebabkan kematian. 

Meskipun beracun, jika tahu cara pengolahannya yang benar, umbi gadung dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan. Dalam catatan sejarah, dapat diketahui bahwa pada tahun 1628, saat Batavia (sekarang Jakarta) dikepung Kolonial Belanda, masyarakat memakan singkong dan gadung. Pada tahun 80-an, gadung dapat dengan mudah ditemui di pasar – pasar, terutama di Pulau Jawa. Sekarang, hanya gadung dalam bentuk keripik yang mudah ditemukan.

Gambar 2. Umbi Gadung (foto koleksi pribadi)

Dari pengalaman warga selama bertahun-tahun, ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menghilangkan racun yang terdapat dalam umbi gadung. Misalnya di daerah Ambon, irisan umbi gadung diremas-remas dalam air laut kemudian direndam kembali kedalam air laut selama 2-3 hari hingga menjadi lembek, baru setelah itu dijemur. Sementara itu di Bali, umbi gadung yang telah dikupas dan diiris tipis-tipis dicampur dengan abu gosok, kemudian direndam dalam air laut (air garam 3%) dan dicuci lagi dengan air tawar. Setelah itu baru dilakukan penjemuran selama 3 hari. Uji coba untuk mengetahui apakah racun dalam umbi sudah hilang atau belum dilakukan dengan memberikan umbi pada ayam. Jika ayam tidak mabuk, berarti racun dalam umbi telah hilang.

Lain lagi cara yang biasa dilakukan di Kebumen, Jawa Tengah. Disana, umbi yang telah dilumuri dengan abu gosok dipendam dalam tanah selama 3-4 hari. Setelah digali, umbi dicuci dengan air tawar sambil diremas-remas seperti mencuci beras. Jika air cucian tidak lagi berwarna putih susu seperti air bilasan sebelumnya, maka dapat diartikan bahwa racun dalam umbi telah hilang.



      PROSES PEMBUATAN KERIPIK GADUNG

 Gadung mengandung racun yang disebut dioscorin (C13H19O2N) yang dapat menyebabkan pusing dan mual. Namun jika diolah dengan tepat, gadung dapat dijadikan sebagai bahan makanan yang enak dan tentunya aman dikonsumsi.

Proses pembuatan keripik gadung harus benar-benar teliti dan membutuhkan pengalaman agar keripik yang dihasilkan aman dan tidak menimbulkan efek samping. Bahan-bahan yang diperlukan dalam  pengolahan umbi gadung menjadi keripik gadung adalah umbi gadung, garam dapur, abu dapur, dan bumbu penyedap. Umbi gadung yang digunakan sebagai bahan dasar pembuatan keripik gadung harus benar-benar segar (barusaja dipetik). Jika menggunakan umbi gadung yang telah disimpan lama, akan menghasilkan keripik yang berwarna hitam. Oleh karena itulah, disaat musin panen gadung yang hanya sekali dalam satu tahun ( sekitar bulan Mei hingga Juli), para pengrajin harus bekerja ekstra untuk segera mengolah umbi ini. Adapun cara mengolah umbi gadung menjadi keripik gadung adalah sebagai berikut :

  1. Memilih umbi yang masih segar lalu kupas kulitnya hingga bersih. Umbi yang digunakan sebagai bahan baku keripik gadung memang sebaiknya dipilih yang masih segar. Hal ini dikarenakan jika menggunakan umbi yang telah lama disimpan, maka akan menghasilkan keripik yang berwarna hitam sehingga kurang laku di pasaran.
  2. Mengiris umbi menjadi lembaran tipis-tipis, biasanya menggunakan alat khusus yang disebut pasah.
  3. Taburi umbi gadung yang telah diiris tipis-tipis dengan abu dapur sambil diremas-remas agar menjadi sedikit lunak. Adapun abu yang digunakan dalam proses pembuatan keripik gadung ini haruslah abu yang diperoleh dari pembakaran kayu bakar saat memasak di tungku (pawonan – Bahasa Jawa). Jika menggunakan abu pembakaran lainnya (misalnya dari sisa pembakaran batu bata), maka akan menghasilkan keripik yang berwarna hitam. Oleh karena itulah, selama tidak berproduksi, para produsen keripik gadung mengumpulkan abu, baik yang berasal dari dapur sendiri maupun menerima pasokan abu dari para tetangga.
  4. Irisan umbi gadung yang telah berlumur abu gosok kemudian ditata dalam kantong jaring (tidak boleh diletakkan secara acak). Setelah ditata dan penuh, kantong jaring ini kemudian dimasukkan dalam keranjang bambu yang berlubang-lubang dan ditutup dengan pemberat diatasnya (istilah Jawanya di “bleng”). Hal ini bertujuan untuk mengeluarkan air yang terdapat dalam umbi gadung. Proses “bleng” ini dilakukan selama satu malam, setelah itu keesokan harinya umbi gadung ini ditata satu per satu (tidak bertumpuk) di atas anjang (anyaman bambu) dan dijemur hingga kering. Jika cuaca cerah, proses penjemuran ini dilakukan selama setengah hari. Selama proses pengupasan, pengirisan, pengabuan, dan penjemuran pertama ini para pekerja menggunakan sarung tangan karet untuk mengindari getah dari umbi gadung yang mengandung racun dan menyebabkan gatal.
  5. Setelah dijemur, irisan gadung dicuci hingga abunya hilang. Setelah abu hilang, gadung kembali ditata dalam kantong jaring dan direndam dalam air. Jika air rendaman telah berbusa, maka air harus diganti. Biasanya penggantian air ini setiap 2 jam sekali selama 3-4 hari. Semakin sering diganti, kualitas keripik yang dihasilkan akan semakin baik. Hal ini tentunya sangat menguras tenaga, sehingga ada produsen yang mengganti proses perendaman ini dalam air  yang mengalir selama 3-4 hari.
  6. Setelah 3 atau 4 hari perendaman, irisan gadung kemudian ditiriskan dan dicuci dengan air bersih. Kemudian disiapkan rebusan air bercampur garam dan bawang yang telah dihaluskan dalam panci atau wajan besar. Penambahan bumbu ini bertujuan untuk memberikan rasa gurih pada keripik. Setelah air mendidih, irisan umbi gadung yang telah ditata dalam jaring dimasukkan ke dalamnya dan direbus hingga gadung matang sekitar satu jam. Tanda jika gadung telah matang dapat dilihat dari warna gadung. Jika warna gadung telah berubah menjadi bening, itu tandanya gadung telah matang. Jika masih berwarna putih, berarti gadung belum matang dan jika dalam keadaan ini gadung sudah diangkat dari perebusan, maka nantinya akan menghasilkan keripik yang keras (atos - Bahasa Jawa).
  7. Irisan gadung yang telah direbus kemudian dijemur kembali di bawah sinar matahari langsung hingga benar-benar kering. Jika sudah kering, jadilah keripik gadung yang siap untuk digoreng atau dijual ke pasaran.

Gambar 3. Proses Penjemuran Pertama (foto koleksi pribadi)



Gambar 4. Proses Penjemuran Kedua (foto koleksi pribadi)


      MANFAAT GADUNG

 Meskipun dikenal beracun, namun gadung memiliki berbagai manfaat jika digunakan secara tepat (Richana, 2013). Selain diolah sebagai keripik, gadung juga dimanfaatkan sebagai makanan pokok pengganti nasi. Gadung mengandung karbohidrat yang dapat menghasilkan kalori sebagai bekal energi untuk melakukan aktifitas. Kandungan kalori dalam gadung ini mirip dengan kandungan kalori dalam singkong, talas, dan kentang.

 Dikarenakan racun yang dikandungnya, gadung seringkali juga dijadikan sebagai bahan baku dalam pembuatan pestisida dan insektisida terutama pada perkebunan. Dengan menanam umbi gadung di kebun, maka hama terutama tikus dapat dibasmi dengan mudah. Selain itu, umbi gadung juga dioles-oleskan pada anak panah pemburu sehingga hewan buruan akan lebih mudah dilumpuhkan.

Di daerah Bali, bunga gadung yang berwarna kuning dan berbau harum tersebut digunakan untuk mewangikan pakaian dan sebagai hiasan rambut. Sementara itu, getahnya digunakan dalam proses pembuatan tali rami dan untuk memutihkan pakaian.

Dalam bidang kesehatan, gadung disinyalir dapat menyembuhkan beberapa jenis penyakit. Di China dan beberapa daerah di Indonesia, parutan umbi gadung ini digunakan untuk mengobati penyakit kusta tahap awal, kutil, kapalan, dan mata ikan, reumatik, dan kejang otot perut. Umbi gadung juga digunakan untuk mengurangi arthritik dan rematik. Selain itu umbi gadung juga dimanfaatkan untuk membersihkan luka pada hewan yang telah dipenuhi belatung. Di Thailand, irisan umbi gadung dioleskan untuk mengurangi kejang perut dan kolik dan untuk menghilangkan nanah pada luka-luka. 

Berdasarkan penelitian, umbi gadung mengandung lendir kental yang terdiri dari glikoprotein dan polisakarida yang larut dalam air. Glikoprotein dan polisakarida merupakan bahan bioaktif yang berfungsi sebagai serat pangan larut air dan bersifat hidrokoloid yang bermanfaat untuk menurunkan kadar glukosa darah dan kadar total kolesterol, terutama kolesterol LDL (Low Density Lipoprotein). 

Keripik gadung juga mengandung berbagai zat yang diperlukan oleh tubuh. Setiap 100 gram keripik gadung mengandung energi sebesar 446 kilokalori; 2,8 gram protein; 76 gram karbohidrat; 14,5 gram lemak; 147 miligram kalsium; 52 miligram fosfor; dan 1,9 miligram zat besi. Selain itu, keripik gadung juga mengandung 0,95 miligram vitamin B1.



      PROSPEK USAHA KERIPIK GADUNG

 Jika melihat manfaat umbi gadung yang sangat banyak, maka sebaiknya usaha pengolahan gadung ini dikelola dengan lebih baik. Selain dapat dijadikan sebagai bahan makanan alternatif, usaha keripik gadung juga akan mampu meningkatkan penghasilan masyarakat.

Permintaan pasar akan keripik gadung tergolong cukup tinggi, apalagi pada momen hari besar seperti hari raya Idul Fitri. Sayangnya, permintaan pasar yang tinggi ini kadang belum seimbang dengan ketersediaan bahan baku umbi gadung. Para produsen masih harus mendatangkan umbi gadung dari luar daerah yang tentu saja hal ini akan meningkatkan biaya produksi. Alangkah baiknya jika masyarakat di sekitar produsen keripik gadung mampu mencukupi kebutuhan bahan baku ini.

Sebenarnya menanam umbi gadung tidaklah terlalu sulit (Richana, 2013). Secara umum, tanaman gadung tidak memerlukan iklim yang spesifik dalam pertumbuhannya. Gadung dapat tumbuh pada semua jenis tanah baik latosol, alluvial, maupun podsolik dimana jagung dan padi kurang bagus tumbuhnya. Untuk memperoleh hasil maksimal, diperlukan penyinaran matahari lebih kurang 10 jam per hari dan curah hujan 760 – 1015 mm per tahun. Ketinggian tanah yang sesuai adalah 845 – 1500 meter di atas permukaan tanah. 

Penanaman gadung sebaiknya dilakukan pada awal musim hujan. Hal ini dikarenakan pada masa pertumbuhannya, gadung memerlukan air yang cukup. Keadaan ini akan berlangsung sampai tanaman berumur 6 bulan. Pada umur 8 bulan, kebutuhan air pada gadung relatif berkurang, bahkan apabila air dalam tanah terlalu banyak akan mempengaruhi pertumbuhan umbi dan menyebabkan kerusakan umbi. 

Tahap pertama dalam proses penanaman gadung adalah dengan membuat lubang dengan ukuran 50 x 50 cm dengan kedalaman 15-20 cm di tanah yang gembur. Karena batangnya yang merambat, maka gadung dapat ditanam sepanjang pagar. Setelah itu, campurkan sampah kebun sebagai kompos ke dalam tanah tersebut. Pilihlah umbi yang telah bertunas sebagai bibit. Benih yang baik diperoleh dari umbi yang baik dan sehat. Bibit ini ditanam di lubang yang telah disiapkan dengan tunas mengarah ke atas dan kemudian ditimbun kembali dengan tanah (mata tunas jangan tertimbun tanah). Untuk mendapatkan tanaman yang sehat dan umbinya besar, maka perlu dilakukan penyiangan dan penggemburan tanah. Hal ini bertujuan untuk memperbaiki struktur tanah dan menutupi umbi yang muncul di permukaan tanah. Jika umbi keluar dari tanah dan berwarna hijau, artinya umbi mengandung racun yang pekat sehingga umbi tidak dapat dikonsumsi. Panen dapat dilakukan setelah tanaman berumur satu tahun. Panen dilakukan dengan menggunakan tanjau (garpu tanah).

Daerah di Tulungagung yang merupakan sentra penghasil keripik gadung adalah Desa Joho dan sekitarnya di Kecamatan Kalidawir. Di daerah ini, hampir setiap warganya memiliki usaha produksi kerupuk gadung. Pada musim gadung (sekitar bulan Mei hingga Juli) dapat dijumpai anjang berisi keripik gadung yang dijemur di sepanjang jalan desa. Usaha keripik gadung ini mulai dirintis sejak tahun 1980-an dan mulai terlihat ramai pada tahun 1990-an. 

Tingginya permintaan pasar akan keripik gadung terutama menjelang hari raya Idul Fitri, membuat kebutuhan akan bahan baku pun semakin besar. Hal ini mendorong para produsen mendatangkan bahan baku umbi gadung dari daerah Trenggalek, Bojonegoro, Blitar, Malang, dan Lamongan. Untuk sekali masa produksi, seorang produsen mendatangkan satu hingga dua pick up umbi gadung dengan harga per kilogramnya adalah Rp 1.250,00. Untuk setiap kwintal umbi gadung dapat menghasilkan 10 hingga 15 kilogram keripik gadung tergantung pada kualitas umbi.  

Sampai saat ini, belum ditemukan kendala dalam hal pemasaran. Hal ini dikarenakan para pedagang mendatangi para produsen secara langsung untuk membelinya. Adapun harga keripik gadung kualitas super (ukuran paling besar) di tingkat produsen saat ini adalah Rp 40.000,00 dan untuk keripik gadung yang berukuran kecil adalah Rp 20.000,00.

Gambar 5. Krecek Keripik Gadung Siap Jual (foto koleksi pribadi)

Adapula produsen yang memproduksi keripik gadung siap konsumsi, artinya proses pembuatan tidak berhenti hingga keripik berbentuk krecek (keripik yang siap digoreng) saja. Mereka menggoreng krecek tersebut dan mengemasnya dalam kemasan yang menarik untuk kemudian dikirimkan ke berbagai toko, swalayan, dan pusat oleh-oleh yang menjadi mitra kerjanya.




 




Posting Komentar

0 Komentar