Dalam catatan sejarah peradaban manusia, diketahui
bahwa pusat peradaban tertua muncul di sepanjang sungai besar seperti peradaban
Sungai Nil di Mesir, Eufrat dan Tigris di Mesopotamia, Indus di India, serta
Hoang Ho dan Yang Tse di China. Hal serupa juga terjadi di Indonesia, seperti
Batanghari, Musi, dan Kampar. Bahkan kerajaan maritim sebesar Sriwijaya juga
tidak dapat dipisahkan dari peran peradaban sungai. Sebagai contoh, lada yang
merupakan salah satu komoditas perdagangan Sriwijaya berasal dari pedalaman
Minangkabau, sehingga tidak mungkin serta merta dibawa ke laut tanpa melewati
sungai terlebih dulu, mengingat sarana transportasi darat masa itu yang belum
sebaik sekarang. Sejarah juga mencatat bahwa pada zaman dahulu, daerah Batavia
sangat tergantung pada sungai Ciliwung.
Kabupaten Tulungagung merupakan daerah di Jawa
Timur bagian Selatan, terletak 154 km ke arah Barat Daya dari Ibu Kota Propinsi
Surabaya. Nama Tulungagung berdasarkan bahasa terdiri dari kata ”Tulung dan Agung”.
Tulung diartikan sebagai sumber air atau umbul sedangkan agung diartikan
sebagai besar, sehingga Tulungagung dapat diartikan sebagai sumber air yang
besar.
Topografi daerah Tulungagung berada di daerah
dataran rendah yang dikelilingi pegunungan. Bagian selatan Tulungagung
merupakan rentetan dari daerah Pegunungan Kapur Selatan Jawa yang kurang
memungkinkan dibuat sebagai daerah pematusan (pembuatan saluran air). Tidak
adanya daerah pematusan ini menyebabkan terbentuknya rawa-rawa di daerah
selatan (Rawa Campurdarat). Bukit-bukit kapur dan gunung berapi yang berada
disekitarnya, berabad-abad lamanya secara berganti mengisi rawa tersebut,
sedangkan proses alamiah lainnya yaitu munculnya Sungai Ngasinan yang bermuara
ke rawa menjadikan genangan semakin luas. Bila musim hujan, dapat dipastikan
banjir akan mengenangi daerah sekitarnya termasuk wilayah Kadipaten Ngrowo.
Topogarfi yang kurang menguntungkan ini
menyebabkan sering terjadinya banjir. Sejak zaman kolonial Belanda sampai zaman
orde lama wilayah Tulungagung bagian tengah dan selatan merupakan hamparan rawa
yang luas dan dalam. Munculnya banjir yang hampir terjadi tiap tahun membawa dampak
negatif bagi kelancaran pertanian, apalagi Tulungagung merupakan daerah penghasil
tebu yang memasok dua Pabrik Gula yang dibangun Belanda pada tahun 1800-an.
Kemenangan Jepang atas Belanda dalam Perang
Pasifik menghantarkannya untuk menguasai Indonesia, termasuk wilayah
Tulungagung. Didorong faktor ekonomi dan pantai-pantainya yang menjanjikan,
Jepang bertekad melakukan penanggulangan banjir di Tulungagung. Aiko
Kurasawa dalam bukunya Mobilitas dan Kontrol: Studi tentang Perubahan
Sosial di Pedesaan Jawa 1942-1945 menyebutkan bahwa Proyek Reklamasi
Tulungagung ini merupakan proyek drainase besar yang dilakukan Jepang ketika di
Indonesia.
Selain karena topografinya, faktor lain yang
mendukung seringnya terjadi banjir di Tulungagung adalah adanya curah hujan
yang tinggi dan letusan Gunung Kelud yang menyebabkan pendangkalan Sungai
Brantas. Kondisi ini diperparah dengan kebiasaan membuang sampah ke sungai.
Pada 17 November 1942, Sungai Brantas meluap,
merendam 150 desa dan 9.000 rumah di Kabupaten Tulungagung. Banjir juga
menghancurkan area pertanian dan genangan air ini di daerah hilir membentuk
tanah berawa luas yang oleh penduduk setempat disebut “Campur Darat”.
Untuk mengatasinya, pemerintah Karesidenan Kediri
membangun sebuah terowongan melalui wilayah perbukitan untuk menguras air menuju
ke Samudera Hindia. Selain itu, terowongan diharapkan juga mampu menjaga
tanaman padi yang sedang diintensifkan Jepang untuk menyuplai makanan
tentaranya di medan perang.
Karena tidak adanya alat berat dan bahan peledak,
maka seluruh pekerjaan dilakukan dengan tenaga manusia. Beberapa bulan pertama,
pekerjaan pembangunan berjalan lancar, dengan mempekerjakan lebih dari 10.000
romusha per hari menggunakan peralatan sederhana yang dibawa dari desa
masing-masing. Kekurangan peralatan ini, membuat target awal pembangunan
terowongan rampung di awal Juni, meleset dan baru selesai di bulan Juli 1944.
Dalam Bahasa Jawa, terowongan disebut Tumpak
Oyot (Akar Gunung). Istilah ini diterjemahkan oleh Nishida (seorang
penerjemah yang bekerja di Karesidenan Kediri) menjadi Neyama (Ne
artinya akar dan Yama berarti gunung).
Kekalahan Jepang pada Perang Pasifik dari Sekutu
menyebabkan Jepang harus meninggalkan Indonesia. Kondisi Vacuum of Power
ini menyebabkan Indonesia berinisiatif memerdekakan diri meski mengalami
berbagai ketidakstabilan terutama dalam pengelolaan wilayah. Hal ini rupanya
berimbas pula pada kondisi Terowongan Neyama yang menjadi kurang perawatan.
Agresi Militer II Belanda pada tahun 1949, membuat
warga merusak beberapa fasilitas umum, salah satu diantaranya adalah bangunan
di sektar Terowongan Neyama, dalam upanyanya untuk memperlambat gerak pasukan
Belanda dalam memasuki Tulungagung.
Letusan Gunung Kelud menyebabkan banjir besar pada
tahun 1952 dan 1954. Meski dapat dikatakan sebagai banjir besar, untungnya
Sungai Brantas masih bisa menampung air banjir tersebut. Namun, musim hujan di
tahun 1955, menyebabkan Sungai Brantas tak kuat lagi menahan luapan air dan
mengakibatkan banjir setinggi 1 hingga 3 meter.
Pasca terjadinya banjir, Bupati Tulungagung dan
Gubernur Jawa Timur melakukan rapat terkait upaya pengendalian banjir. Upaya
pengendalian banjir ini terbagi menjadi dua proyek, Proyek I adalah pembuatan
bendungan penahan dan penampung pasir lahar Gunung Kelud yang tujuannya untuk
memperlambat pendangkalan Sungai Brantas, sedangkan proyek II adalah perbaikan
Terowongan Neyama yang dangkal akibat endapan lumpur dari Kali Ngrowo. Pembangunan
Terowongan Neyama yang dilakukan oleh PT Kashima Kensetsu berhasil selesai
bulan oktober 1961 dengan memperlebar diameter terowongan menjadi 7 meter dan
panjangnya 950 meter. Pasca rehabilitasi terowongan Neyama dan proyek
pengerukan pasir di hilir Brantas sangat berdampak besar yang dibuktikan adanya
genangan banjir yang mulanya besar sekarang semakin mengecil. Selain itu di
daerah Rawa Bening dan Rawa Gesikan mengalami penyusutan debit air. Hal itulah
yang menimbulkan adanya pengubahan nama Terowongan Neyama menjadi Terowongan
Tulungagung Selatan.
Pada tahun 1971 kembali terjadi banjir besar. Terowongan
Neyama yang sudah ada dianggap belum cukup menangani banjir di Tulungagung,
terutama banjir windon (banjir yang terjadi setiap delapan tahun sekali).
Oleh karena itu, pemerintah Orde Baru membangun Terowongan Niyama II yang
diresmikan pada 1986. Kini, Neyama
dijadikan sebagai objek wisata berkat pemandangan dan terowongan drainase
besarnya yang melintasi gunung.
Jika sekarang kita melacak sub-area selatan
Tulungagung, tidak lagi dapat dijumpai areal rawa yang luas dan sebuah pulau
bernama ‘Pulau Bedalem’, yang konon menyembul di tengah hamparan rawa. Tulungagung
kini merupakan hamparan dataran rendah yang dikelilingi Pegunungan Kapur
(Kendeng) di sisi selatan sebagai pelindung dari Samudera Indonesia (Samudera
Hindia).
Menilik data tekstual masa lampau, misalnya dalam
Pustaka Kakawin Negarakertagama dari masa Hindu-Budha, menyebutkan adanya
bangunan suci Buddhis yang dinamai “Sanggraha” (kini berubah sebutan menjadi
“Sanggrahan”) di tempat Bernama “Rawa”. Informasi tekstual ini menegaskan bahwa
di daerah Tulungagung bagian selatan terdapat sebuah daerah bernama “Rawa”,
yakni suatu penamaan tempat berdasarkan karakter fisik alamiahnya yang berupa
kawasan rawa pedalaman.
Unsur nama
‘rawa’ juga terkandung pada nama sejumlah desa/dusun di sub-area selatan
Tulungagung, seperti Desa Bonorowo, Dukuh Rowogebang, Dukuh Rowobaran. Selain
itu di daerah Tulungagung terdapat sebuah sungai yang mengalirkan air dari Rawa
Bening dan Rawa Gesikan ke Sungai Brantas, yang dinamai “Kali Ngrowo”. Unsur
nama “Ngrowo” adalah ‘persengauan (penambahan ‘ng’) di depan kata ‘rawa’.
Kali Ngrowo sebenarnya merupakan
anak Sungai Brantas yang seolah membagi kota Tulungagung menjadi dua bagian,
utara dan selatan. Kali Ngrowo melintasi pusat Kabupaten Tulungagung, tepatnya
berada sekitar 1 km dari alun-alun Kabupaten Tulungagung, dan menurut data dari
BPS Kabupaten Tulungagung Kali Ngowo memiliki panjang 6 km.
Menilik sejarah, Kali Ngrowo dulu
digunakan sebagai salah satu jalur transportasi masyarakat menuju Pasar Wage
Tulungagung untuk melakukan transaksi perdagangan. Selain itu, Kali Ngrowo juga
dimanfaatkan warga sebagai jalur menuju beberapa pesantren yang memang sengaja
dibangun di tepi sungai untuk memudahkan mobilitas para santrinya, seperti
pesantren di daerah Tawangsari.
Awalnya, air Kali Ngrowo banyak
dimanfaatkan warga untuk mandi, mencuci, mengairi sawah, memberi minum ternak,
dan berbagai kegiatan manusia lainnya. Seiring semakin banyaknya kegiatan wagra
dalam memanfaatkan air Kali Ngowo, air sungai menjadi kotor dengan banyak
sampah. Selanjutnya masyarakat hanya memanfaatkannya untuk memancing ikan dan
mencari cacing sutera sebagai pakan ikan. Bantaran Kali Ngrowo, awalnya
merupakan area yang sepi dengan jalan yang rusak dan gelap sehingga jarang
dilewati oleh masyarakat meskipun jalan ini merupakan akses alternatif menuju
kota.
Kali Ngrowo mulai dikembangkan oleh pemerintah Kabupaten Tulungagung pada tahun 2011. Pengembangan kawasan Kalii Ngrowo diawali dengan dilakukannya perluasan dan normalisasi sungai agar terbebas dari sumbatan lumpur dan sampah-sampah. Pengembangan dilanjutkan dengan dibangunya jalan paving, gazebo, kursi dan penerangan jalan umum di bantaran Sungai Ngrowo. Kursi-kursi serta gazebo dibangun sebagai sarana bersantai masyarakat di Kabupaten Tulungagung.
Dari jalan raya propinsi yang menghubungkan Kabupaten Tulungagung dengan Kabupaten Trenggalek, tepatnya sebelum jembatan Lembu Peteng, terdapat penunjuk arah. Arah ke kiri menunjuk Ngrowo Water Front dan arah kanan menunjuk Ngrowo Jogging Track.
Wisata kuliner Ngrowo Water Front ini tepatnya terletak di Desa Gedangsewu Kecamatan Boyolangu Kabupaten Tulungagung. Kawasan wisata kuliner ini diresmikan pada tanggal 31 Desember 2014. Di area ini berdiri kios-kios kakilima memanjang di bantaran Kalii Ngrowo sepanjang sekitar 1 kilometer. Wisata kuliner Ngrowo Water Front dibangun outdoor dengan pemandangan sungai, Ruang Terbuka Hijau (RTH), dan lampu hias. Dari area wisata Ngrowo Water Front ini pengunjung dapat melihat kegiatan para penjaring ikan dan udang.
Sasaran utama dari pembangunan wisata kuliner Ngrowo Water Front ini adalah masyarakat sekitar bantaran Kali Ngrowo. Meskipun pemerintah daerah tidak menutup kesempatan bagi siapa pun masyarakat yang berminat memanfaatkan wisata kuliner Ngrowo Water Front. Menurut penuturan ketua paguyuban pedagang wisata kuliner Ngrowo Water Front, dari keseluruhan pedagang di wisata kuliner Ngrowo Water Front sekitar 75 persen adalah dari penduduk sekitar Sungai Ngrowo, sedangkan 25 persen sisanya adalah masyarakat dari luar kawasan bantaran Sungai Ngrowo.
Selanjutnya, untuk memperkuat kemampuan pedagang dalam berwirausaha, dilakukan pendampingan dalam bentuk pelatihan, pembinaan, dan kontrol oleh Pemerintah Daerah. Program pelatihan dilakukan untuk mengembangkan skill pedagang, seperti pelatihan memasak, penyajian dan menejemen penjualan yang diselenggarakan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Tulungagung.
Pedagang yang berjualan di wisata kuliner Ngrowo Water Front dievaluasi oleh pemerintah. Apabila selama 3 bulan tidak aktif berjualan, maka kios secara otomatis kembali kepada pemerintah untuk dioperasionalkan kepada pedagang atau masyarakat lain yang membutuhkan. Data yang diperoleh penulis, jumlah pedagang yang masih aktif adalah 65 pedagang atau 50% dari jumlah pedagang yang mendaftarkan diri yakni sebanyak 121 orang.
Jika dibandingkan dengan Ngrowo Water Front, maka suasana Ngrowo Jogging Track lebih ramai. Kedua sisi Sungai Ngrowo dimanfaatkan di area Ngrowo Jogging Track ini, tidak seperti di area Ngrowo Water Front yang hanya mengoptimalkan sisi timur sungai. Kawasan Ngrowo Jogging Track lebih terkenal dengan sebutan Pinka (Pinggir Kali). Sepanjang area Pinka ini nampak rindang dengan banyaknya pepohonan. Di kiri kanan juga terdapat kios-kios makanan yang menyediakan berbagai masakan seperti nasi goreng, ayam bakar, bakso, soto, sate ayam, dll. Bangku-bangku taman dan gazebo juga banyak terdapat di sepanjang jalan, dapat digunakan oleh pengunjung untuk menikmati pemandangan sungai dan aneka makanan yang disediakan di kios-kios kuliner.
Sebagai sungai yang berarus tenang, Sungai Ngrowo ini sejak dulu dimanfaatkan warga untuk mencari cacing sutra. Oleh karena itulah, pengunjung akan mudah menemui para penambang cacing sutra ini di sepanjang sungai, mulai dari hulu hingga ke hilir.
Di sisi timur Pinka ini juga terdapat beberapa kedai kopi bertema minimalis modern, yang akan ramai di malam hari. Berbagai varian minuman berbahan kopi ditawarkan di kedai-kedai kopi ini, mulai yang bernuansa modern seperti Capuccino dan Kopi Latte, hingga varian minuman kopi tradisional dengan Kopi Ijo yang menjadi andalannya.
Memasuki Pinka dari sisi barat Kalii Ngrowo, pengunjung akan menjumpai deretan kios penjual bunga dan tanaman hias. Minat masyarakat merawat bunga selama pandemi Covid-19 membawa berkah tersendiri bagi para pedagang bunga di kios bunga Pinka ini. Aneka jenis bunga dijual disini, mulai yang berharga lima ribuan hingga tanaman-tanaman hias “mahal” seharga ratusan ribu rupiah. Pengunjung kios bunga di Pinka ini tidak hanya berasal dari wilayah Tulungagung, tapia da pula yang berasal dari luar wilayah Kabupaten. Selain bunga dan tanaman hias, disini juga dijual aneka media tanam, pupuk, dan pot bunga dengan bentuk dan ukuran yang bervariasi.
Bergeser ke arah utara, akan ditemui warung-warung kopi. Jika dibandingkan dengan sisi timur sungai, warung-warung kopi di sisi barat ini lebih berkonsep tradisional dan ramai baik siang maupun malam hari.
Diantara warung-warung ini terdapat satu gedung lapangan futsal yang terkenal, yakni Red Futsal. Lapangan futsal ini akan ramai di malam hari. Pengunjung dapat memanfaatkan lapangan ini dengan sistem sewa dengan harga yang terjangkau dan berbonus air mineral.
Terdapat dua buah jembatan yang menghubungkan sisi
barat dan timur Pinka. Jembatan pertama ada di area tengah Pinka, menghubungkan
area warung-warung kopi di sisi barat dengan area kios kuliner di sisi timur
Pinka. Sementara itu, jembatan kedua berada agak jauh di sebelah utara,
menghubungkan ujung Pinka sisi barat sungai dengan Taman Kali Ngrowo yang masih
merupakan rangkaian Wisata Kuliner Pinka di sisi timur.
Gambar 16. Bagian Depan Taman Kali Ngrowo (foto koleksi pribadi)
Pada saat penulis mengunjungi Taman Kali Ngrowo, suasana taman sedang ramai, meskipun taman masih dalam kondisi renovasi. Tampak papan nama sudah saatnya diperbaiki. Material bangunan nampak menumpuk di beberapa sudut taman, dan beberapa fasilitas taman seperti gazebo dan tempat duduk pengunjung juga sedang dalam tahap pembangunan.
Selain bisa menikmati suasana segar di taman ini, di Taman Kali Ngrowo ini pengnjung juga bisa memanjakan anak-anaknya dengan berbagai wahana permainan.
Mengenang sejarahnya yang panjang, keberadaan
kali/sungai sebagai penopang kehidupan manusia, maka sudah selayaknya kita
sebagai generasi penerus senantiasa menjaga dan memanfaatkannya dengan
bijaksana. Jika kita bersikap baik kepada alam, maka alam juga akan memberikan
yang terbaik untuk kita.
0 Komentar