JELITA, DODOLNYA TULUNGAGUNG

 


       AWAL MULA JELITA

Wajik, dodol, dan jenang adalah beberapa jenis makanan tradisional klasik di Indonesia yang terbuat dari beras, ketan, santan, gula, dengan warna dan aroma alami. Jenis jajanan ini sering menjadi sajian pada setiap acara kenduri, pesta, dan hari besar di kalangan masyarakat dan sekarang menjadi produk untuk buah tangan khas suatu daerah. Menurut Lilly Erwin (2013), rasa manis yang mendominasi panganan ini menjadi pengawet alami sehingga tanpa menggunakan bahan pengawet kimiawi dan lemari pendingin, wajik, dodol, dan jenang apabila diolah dan dikemas dengan baik dan higienis dapat bertahan hingga lebih kurang 2 minggu.

Jika di Jawa Barat terkenal dengan adanya dodol Garut, maka daerah Tulungagung juga memiliki dodol khas yang diberi nama Jelita (Jenang Licin Tulungagung). Dodol adalah jajanan berasa manis yang biasanya terbuat dari beras ketan dan gula. Proses pembuatannya memerlukan waktu yang lama dan memerlukan keahlian serta kesabaran.

Usaha Jelita telah dimulai sejak zaman penjajahan Belanda (sekitar tahun 1920) oleh Bapak Askandar yang bertempat tinggal di Kelurahan Sembung Kecamatan Kota. Semula Bapak Askandar ini adalah seorang pengusaha besar di bidang batik yang memiliki 100 orang karyawan, sehingga Jelita hanya sebagai usaha sampingan. Pada waktu itu, Jelita hanya diproduksi jika ada pesanan untuk acara manten dan hari raya lebaran.

Pada tahun 1953, usaha Jelita dilanjutkan oleh putranya yang bernama Bapak Asmuni Askandar. Usaha Jelita kali ini pun hanya merupakan usaha sampingan, sebab usaha utama dari Bapak Asmuni Askandar adalah di bidang produksi sabun.

Pada masa Bapak Asmuni Askandar ini, proses pengiriman Jelita kepada pemesan dilakukan dengan menggunakan sepeda oleh para loper. Adapun pemesannya, mayoritas adalah warga pecinan, dikarenakan Jelita masih tergolong jajanan yang mahal. Salah satu loper yang sangat terkenal bernama Pak Syaibun. Mungkin karena usaha utama Bapak Asmuni Askandar yang memproduksi sabun dan nama loper Jelitanya adalah Pak Syaibun, maka Jelita waktu itu dikenal juga dengan nama Jenang Sabun.

Selanjutnya, usaha Jelita ini dilanjutkan oleh salah seorang Putri Bapak Asmuni Askandar yang bernama Ibu Sri Wanudio Winarni. Hingga kini proses produksi masih berlangsung di Kelurahan Sembung dengan mempertahankan resep aslinya.

Gambar 1. Kios Jelita


      PEMBUATAN JELITA

Seiring dengan makin banyaknya pesanan, maka proses pembuatan Jelita kini dilakukan setiap hari dan tidak lagi menjadi usaha sampingan. Bahkan saat ada pesanan untuk acara manten, proses pembuatan Jelita bisa sampai dua kali sehari, dengan sakali proses masak sebanyak dua kawah (wajan besar).

Untuk sekali proses masak, diperlukan 10 kg tepung ketan, 10 kg santan kelapa, 10 kg gula pasir, satu kaleng susu kental manis, 1 kg susu bubuk coklat, dan vanili secukupnya. Semua bahan ini dibagi menjadi dua untuk dua kawah.

Proses pembuatan Jelita dimulai dengan menyiapkan kawah di atas tungku api berbahan bakar kayu, kemudian santan direbus sampai mendidih. Setelah santan mendidih, tepung ketan dimasukkan kedalam kawah, masing-masing kawah sebanyak 5 kg. Campuran ini diaduk selama kurang lebih 5 jam, tergantung kondisi api tungku, hingga menjadi adonan yang kental dan liat.

Gambar 2. Proses Pengadukan

Setelah sekitar lima jam, gula pasir dan susu kental manis dimasukkan ke kawah pertama, sementara itu pada kawah kedua dimasukkan gula dan coklat bubuk. Campuran ini kembali diaduk selama sekitar satu jam. Beberapa saat sebelum diangkat dari tungku, masukkan vanili secukupnya kedalam kedua kawah dan aduk kembali hingga benar-benar matang.

Setelah matang, Jelita dituangkan ke dalam loyang-loyang yang telah di beri alas plastik. Proses penuangan Jelita ke dalam Loyang ini dikombinasikan antara Jelita yang berwarna putih (susu) dan Jelita yang berwarna coklat. Loyang ini ditimbang dengan berat rata-rata 1 kg tiap loyang. Loyang-loyang ini didiamkan hingga Jelita benar-benar dingin, untuk kemudian Jelita diiris dan dikemas.

Dikarenakan tidak menggunakan bahan pengawet, maka Jelita hanya mampu bertahan selama 5 sampai 7 hari. Hal ini menyebabkan Jelita tidak dapat dikirim ke tempat yang jauh. Jika menghendaki, konsumen dapat datang langsung ke tempat produksinya yang ada di Kelurahan Sembung tepatnya di tepi Kali Ngrowo di dekat Jembatan Istana. Jelita dapat juga diperoleh di Pusat Oleh-oleh yang ada di sepanjang Jalan Pangeran Antasari (kawasan stasiun kereta api Tulungagung).

Seiring perkembangan zaman dan teknologi, pemesanan Jelita kini bisa diakses melalui berbagai situs jual beli online. Permintaan yang semakin meningkat juga membuat pergeseran pada proses pengolahan (pengadukan) Jelita yang semula menggunakan tenaga manusia, kini telah menggunakan mesin pengaduk.

Mesin pengaduk ini memiliki dua buah tabung (panci) dengan kapasitas masing-masing 40 kg, menggunakan bahan bakar LPG untuk memanaskan panci dan juga menggunakan energi listrik untuk menggerakkan tuas-tuas mesin.

Gambar 3. Mesin Pengaduk

Di tempat produksinya, Jelita dikemas dalam dua ukuran, yakni ukuran ½ kg dengan harga Rp 22.000,00 dan ukuran ¼ kg dengan harga Rp 11.000,00. Selain dijual dalam kemasan tersebut, produsen Jelita juga melayani pemesanan Jelita dengan kemasan sesuai kehendak pemesan.

Gambar 4. Pesanan Jelita dalam Kemasan Khusus

Demikian cerita tentang Jelita, yang jika diresapi maka akan kita temui filosofi yang mendalam. Proses pembuatannya yang panjang dan rasanya yang manis hendaknya mengingatkan kita bahwa untuk mencapai hubungan yang manis dengan Allah SWT (hablumminallah) diperlukan proses pendekatan yang panjang. Ketika lengket, maka akan terasa manis, mungkin seperti itulah filosofi yang terkandung dalam jenang Jelita.

Filosofi jenang jelita dapat digunakan untuk menggambarkan komunikasi vertikal antara manusia dengan Tuhannya. Kita harus senantiasa mendekat dan me”lengket’kan diri dengan Allah SWT, berdoa dengan ikhlas, penuh keimanan dan istiqomah. Allah SWT senantiasa meneduhkan umatNya dan berjanji mengabulkan setiap doa sebagaimana firmanNya dalam QS. Ghafir ayat 60 yang artinya : “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu”. Allah SWT menjanjikan sesuatu yang sangat manis untuk setiap hambaNya yang senantiasa mendekat dan menuturkan doa melalui ibadah kepadaNya. Seperti yang tersurat dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari bahwa “Jika hambaKu mendekatiKu satu jengkal, maka Aku akan mendekatinya satu hasta, dan jika dia mendekatiKu satu hasta, maka Aku akan mendekatinya satu depa. Jika dia datang kepadaKu dengan berjalan, maka Aku akan mendatanginya dengan berlari”.

Kehidupan ini ibarat dodol (jenang jelita) yang harus senantiasa melengketkan diri dengan Sang Pencipta, karena ada janji manis yang pasti akan tertunaikan apabila kita istiqomah menjalankan perintahNya.

Posting Komentar

0 Komentar