ALOON ALOON TULUNGAGUNG, DESTINASI WISATA DI TENGAH KOTA

 


Setiap daerah di Indonesia dapat dipastikan memiliki ruang terbuka publik sebagai wadah untuk menampung berbagai aktivitas sosial-rekreatif masyarakat. Ruang publik menurut sifatnya terbagi atas ruang publik eksternal, ruang publik internal, dan ruang publik quasi.

Ruang terbuka publik eksternal didefinisikan sebagai jenis ruang publik yang dapat digunakan secara bebas oleh masyarakat untuk melakukan aktivitas dan interaksi sosial. Alun-alun sebagai salah satu jenis ruang publik tersebut juga berfungsi sebagai ruang terbuka hijau (RTH) yang memiliki peranan penting dalam perkotaan dengan fungsi utamanya sebagai penyeimbang lingkungan. Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang menyebutkan bahwa suatu kota membutuhkan ruang sebesar 30 persen dari luas wilayah kota sebagai ruang terbuka hijau (RTH) yang terdiri dari 20 persen sebagai RTH publik dan 10 persen sebagai RTH privat.

Menurut ahli arsitektur Van Romondt (Haryoto, 1986:386), pada dasarnya alun-alun (dulu ditulis aloen-aloen atau aloon-aloon) merupakan halaman depan rumah, tetapi dalam ukuran yang lebih besar. Alun-alun biasa terdapat di depan rumah penguasa (raja, bupati, wedana, camat, atau kepala desa).

Awalnya alun-alun merupakan tempat berlatih perang bagi para prajurit kerajaan, tempat penyelenggaraan sayembara, penyampaian perintah penguasa kepada rakyat, pusat perdagangan, dan hiburan masyarakat.

Keberadaan alun-alun dipercaya telah ada sejak zaman Hindu-Budha. Hal ini tertuang dalam buku Negara Kertagama karya Empu Prapanca yang menyatakan bahwa di Trowulan telah terdapat alun-alun yang semula ditujukan sebagai sebuah “tanah sakral” tempat upacara permintaan izin kepada “dewi tanah” sebelum bercocok tanam.

Pada masa kerajaan Mataram, alun-alun difungsikan sebagai tempat masyarakat mendengarkan pengumuman dari penguasa, melihat unjuk kekuatan dari para prajurit, dan berbagai kegiatan sosial-budaya lainnya, termasuk perdagangan. Untuk memenuhi seluruh kegiatan masyarakat inilah, maka alun-alun hanya berupa hamparan lapangan rumput.

Masuknya Islam ke Jawa turut berperan terhadap perkembangan keberadaan alun-alun. Bangunan masjid didirikan di sekitar alun-alun (biasanya di sebalah barat). Pada masa tersebut, alun-alun sekaligus difungsikan sebagai tempat pelaksanaan kegiatan hari besar Islam, termasuk sholat Iedul Fitri. Dengan adanya alun-alun, luapan jamaah akan dapat tertampung. Syiar Islam ini membawa perubahan dalam perancangan pusat tata kota, dimana alun-alun, keraton, dan masjid dibangun dalam satu kawasan.

Kehadiran kolonialisme Belanda turut memberi warna dalam tata lingkungan alun-alun. Hal ini terlihat dari didirikannya bangunan penjara pada sisi lain alun-alun (biasanya di sisi sebelah timur). Keberadaan bangunan penjara ini ditujukan bagi kepentingan Belanda sekaligus mengurangi fungsi simbolis alun-alun sebagai simbol kekuasaan penguasa setempat.

Pemerintah kolonial Belanda dalam memerintah Nusantara selain menggunakan pejabat resmi seperti Gubernur Jenderal, Residen, Asisten Residen, Kontrolir dan sebagainya, juga menggunakan pejabat pribumi untuk berhubungan langsung dengan rakyat, seperti Bupati, Patih, Wedana, Camat dan lainnya. Unsur pemerintahan pribumi ini disebut Pangreh Praja (yang berkuasa atas kerajaan, orang Belanda menyebutnya Inlandsch Bestuur). Dalam sistem pemerintahan Inlandsch Bestuur, pejabat Pribumi yang tertinggi adalah Regent (Bupati), yang membawahi sebuah Kabupaten. Rumah Bupati di Jawa selalu dibangun menyerupai miniatur Kraton di Surakarta dan Yogyakarta, yang ditandai dengan keberadaan pendopo yang berhadapan langsung dengan alun-alun di depan rumah Bupati.

Sebagai salah satu kawasan yang pernah mengalami masa-masa pemerintahan kolonial Belanda, Kabupaten Tulungagung juga tak lepas dari peraturan tata pemerintahan Belanda, termasuk dalam hal tata kelola kota. Kediaman Bupati Tulungagung juga dibangun menyerupai Kraton Yogyakarta, dengan pendopo di bagian depannya dan berada di sebelah utara alun-alun. Bangunan Pendopo yang dinamai Pendopo Kongas Arum Kusumaning Bongso ini nampak asri dengan taman dan beberapa satwa di bagian depannya.

Bangunan pendopo Kabupaten Tulungagung menggunakan bentuk Joglo, mengacu pada bentuk atapnya yang mengambil filosofis bentuk sebuah gunung. Pada awalnya, bentuk gunung tersebut diberi nama atap Tajug yang mengacu pada puncaknya, namun kemudian berkembang menjadi atap Joglo/Juglo (Tajug Loro= Dua Tajug) sebagai penggabungan dua Tajug, yaitu ada dua gunungan yang dijadikan satu. Dalam kehidupan masyarakat Jawa, gunung sering dipakai sebagai ide yang dituangkan dalam berbagai simbol, khususnya untuk yang berkaitan dengan sesuatu yang tinggi dan sakral. Hal ini karena adanya pengaruh kuat keyakinan bahwa gunung atau tempat yang tinggi adalah tempat yang dianggap suci dan tempat tinggal para Dewa. Karena itu bentukan gunung ini digunakan sebagai perlambang kemuliaan.

Gambar 1. Gerbang Pendopo dan Logo Kabupaten Tulungagung di depan Pendopo (foto koleksi pribadi)


Gambar 2. Pendopo Kongas Arum Kusumaning Bongso nampak asri (foto koleksi pribadi)

Setelah kemerdekaan, banyak alun-alun berubah bentuk dan fungsinya. Hal ini dipengaruhi oleh berbagai faktor pendorong, seperti kebijakan pemerintah, aktivitas masyarakat, perdagangan, dan lain-lain. Alun-alun Tulungagung juga telah mengalami beberapa kali perbaikan, dan sempat juga berganti nama. Pada tanggal 22 Oktober 2007, alun-alun kota yang asri ini diresmikan sebagai Taman Kusuma Wicitra oleh Bapak Bupati kala itu Ir. Heru Tjahjono, MM. 

Gambar 3. Taman Kusuma Wicitra (foto diambil dari http://fachrizal-edyansyah.blogspot.com/)

Seiring berjalannya waktu, nama Taman Kusuma Wicitra berganti menjadi Taman Aloon Aloon. Pergantian nama ini disahkan oleh Bupati Syahri Mulyo, S.E., M.Si. pada tanggal 17 Juni 2014. Hal ini kemungkinan disebabkan nama alun-alun lebih mudah diingat dan dilafalkan. Taman Aloon Aloon pun menjadi salah satu icon Kabupaten Tulungagung, ditambah pula dengan keberadaan Patung Garuda di tengah taman yang ditopang oleh lima tiang yang tinggi menjulang dan air mancur di sekeliling patung yang makin mempercantik taman.

Selain pergantian nama, alun-alun seluas lebih kuran 1 km2 ini juga mengalami beberapa perubahan dari tata kota awal, dengan beberapa bagian yang masih dipertahankan. Posisi Pendopo Kabupaten tetap berada di sebelah utara alun-alun, sejak berdiri pada tahun 1824. Ya, pendopo bergaya Mataraman itu telah berusia hampir dua abad, sejak dibangun pada masa pemerintahan Adipati Ngrowo RMT. Pringgodiningrat (dahulu Kapupaten Tulungagung Bernama Kadipaten Ngrowo).

Didepan pendopo terdapat taman yang cukup luas dimana di tengah taman tersebut berdiri Monumen Raden Ajeng Kartini bertuliskan “Habis Gelap Terbitlah Terang”. 

Gambar 4. Monumen Raden Ajeng Kartini (foto koleksi pribadi)

Di sisi timur dari Monumen RA Kartini ini terdapat bangsal yang merupakan UPT Taman Bina Bakat dan Kompetensi Siswa yang seringkali digunakan untuk menampilkan hasil karya kesenian siswa seperti sendratari, wayang, dll. Sementara itu di sisi barat dari Monumen RA Kartini terdapat Gedung Balai Rakyat yang masih mempertahankan gaya arsitektur Belanda. Sebelum pandemi Covid-19, gedung ini digunakan sebagai tempat rapat, pameran, disewakan untuk acara resepsi pernikahan, dll. Namun sekarang, Gedung Balai Rakyat ini merupakan Posko Satgas Percepatan Penanggulangan Covid-19 Kabupaten Tulungagung.

Gambar 5. UPT Taman Bina Bakat dan Kompetensi Siswa (foto koleksi pribadi)

Gambar 6. Gedung Balai Rakyat (foto koleksi pribadi)


Perubahan lain yang nampak pada tata kota alun-alun Kabupaten Tulungagung diantaranya nampak di sisi timur. Bagian timur alun-alun yang dulu merupakan bangunan penjara kini telah berubah menjadi Gedung Dewan Perwakilan Rakyat dan Gedung Perpustakaan Daerah. Gedung Perpustakaan Daerah ini juga masih mempertahankan gaya arsitektur Belanda, salah satunya ditandai dengan bentuk jendelanya yang besar-besar. Sementara itu di bagian pojok arah timur selatan, terdapat Kantor Disdukcapil Kabupaten Tulungagung.

Gambar 7. Perpustakaan Daerah Kabupaten Tulungagung (foto koleksi pribadi)

Gambar 8. Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Tulungagung (foto koleksi pribadi)

Di bagian selatan merupakan pintu masuk, dimana terdapat papan nama Taman Aloon Aloon. Bagian selatan alun-alun ini terhubung dengan Jalan Diponegoro yang merupakan daerah pusat perdagangan yang ditandai dengan pertokoan yang menyediakan aneka kebutuhan masyarakat.

Gambar 9. Bagian Depan Taman Aloon Aloon (foto koleksi pribadi)

Di bagian barat Aloon Aloon, terdapat Kantor Pos Tulungagung yang bersebelahan dengan Masjid Agung Al Munawwar. Sama halnya dengan Gedung Balai Rakyat dan Gedung Perpustakaan Daerah, Gedung Kantor Pos ini juga masih mempertahankan gaya arsitektur Belanda. Sementara itu, Masjid Agung masih dipertahankan keberadaannya, hanya saja telah mengalami beberapa kali renovasi. 

Sejarah berdirinya Masjid Agung Al Munawwar tidak dapat dipisahkan dengan Masjid Al Muhajirin yang terletak di daerah Gedangsewu, karena kedua masjid ini dibangun hampir bersamaan pada masa Kadipaten Ngrowo (sebelum dikenal sebagai Kabupaten Tulungagung). Seiring perkembangan zaman, pada awal tahun 1990 (masa Bupati Ir. Heru Tjahjono, MM), Masjid Jami’ Kota Tulungagung direnovasi dan berganti nama menjadi Majid Agung Al Munawwar. Pada saat renovasi inilah, beberapa bagian dari Masjid Jami’ Kota Tulungagung dipindahkan ke Masjid Al Muhajirin, diantaranya hiasan berupa enkripsi bertuliskan arab yang berada di atas tempat imam, dimana enkripsi tersebut terdiri dari tiga baris. Baris pertama berisi kalimat syahadat, baris kedua berisi nama Kiai Mangun Fuqaha selaku tokoh agama yang turut memprakarsai pembangunan Masjid Jami’, dan baris ketiga berisi waktu dibangunnya masjid yakni Ahad Pahing, 11 Syawal 1262 Hijriyah (1847 Masehi) pada masa Bupati kelima R.M.T Djajaningrat. Hiasan lainnya adalah hiasan Kalamakara yang terdapat pada mimbar, empat buah tiang utama dan 12 tiang pendamping yang terbuat dari pohon jati lengkap dengan seni ukir bermotif sulur dan bunga.

Jika diamati, arsitektur Masjid Agung Al Munawwar merupakan akulturasi agama Hindu Islam abad ke-19. Hal ini nampak pada adanya hiasan Kalamakara di bagian atas mimbar yang biasanya terdapat dalam bangunan candi. Hal ini juga diperkuat dengan atap masjid yang bercorak tumpang meru yang membuktikan adanya akulturasi kebudayaan Hindu Islam seperti pada zaman Mataram Islam.

Gambar 10. Masjid Agung Al Munawwar (siang dan malam hari) (foto koleksi pribadi)

Taman Aloon Aloon memiliki berbagai fasilitas sehingga cukup layak dijadikan sebagai destinasi wisata. Tempat parkir yang luas di sisi timur dan barat alun-alun, dapat menampung cukup banyak sepeda motor dan mobil. Bagi para pengunjung yang berasal dari luar kota, Taman Aloon Aloon ini dapat diakses dengan mudah menggunakan kereta api, karena lokasinya yang cukup dekat dengan stasiun Tulungagung. Para wisatawan juga dapat menemukan penginapan dengan mudah karena tepat di depan alun-alun ini terdapat Hotel Gajah Mas.

Taman Aloon Aloon juga menawarkan sarana transportasi tadisional bagi pengunjung yang berminat merasakan sensasi kota zaman dulu. Di seputaran Taman Aloon Aloon juga banyak dijumpai para pedagang yang menawarkan aneka jajanan dan minuman, mainan anak-anak, jagung pakan merpati dan pelet pakan ikan yang memang banyak terdapat di taman ini.

Gambar 11. Sarana Transportasi Dokar Wisata (foto koleksi pribadi)

Gambar 12. Pedagang Kakilima di Taman Aloon Aloon (foto koleksi pribadi)

Memasuki area dalam taman, mata akan langsung dimanjakan oleh hamparan taman bunga yang indah diiringi gemericik air mancur. Ada pula kolam ikan yang sekaligus dipenuhi dengan bunga teratai yang bermekaran di pagi hari.

Gambar 13. Taman Bunga di Taman Aloon Aloon (foto koleksi pribadi)

Gambar 14. Kolam Bunga Teratai di Taman Aloon Aloon (foto koleksi pribadi)

Gambar 15. Air Mancur di Taman Aloon Aloon (foto koleksi pribadi)


Di bagian depan taman, terdapat arena berlatih skateboard dan ruang yang cukup luas bagi anak-anak untuk bermain skuter. Pada setiap sudut taman ini terdapat bangku tempat duduk dan rumah merpati. Pengunjung dapat duduk bersantai sambil memberi makan merpati dengan terlebih dahulu membeli jagung yang banyak dijajakan oleh para asongan. Harganya murah meriah hanya seribu rupiah per kantong.

Selain bisa bersantai dan memanjakan anak dengan berbagai permainan, pengunjung juga dapat mencoba beberapa fasilitas olahraga yang ada atau merasakan sensasi berjalan di atas hamparan batu kerikil yang dipercaya mampu memperlancar peredaran darah. Sementara itu, di sisi utara taman, terdapat taman bermain anak dan arena outbound yang juga sangat sayang apabila dilewatkan.

Gambar 16. Berbagai Fasilitas di Taman Aloon Aloon (foto koleksi pribadi)

Selain bisa bersantai dan memanjakan anak dengan berbagai permainan, pengunjung juga dapat mencoba beberapa fasilitas olahraga yang ada atau merasakan sensasi berjalan di atas hamparan batu kerikil yang dipercaya mampu memperlancar peredaran darah. Sementara itu, di sisi utara taman, terdapat taman bermain anak dan arena outbound yang juga sangat sayang apabila dilewatkan.

Satu hal yang menarik perhatian penulis adalah keberadaan pohon beringin di Taman Aloon Aloon ini. Seingat penulis, sekitar tahun 1993 (saat itu penulis masuk SMPN 1 Tulungagung), alun-alun ini seringkali dijadikan tempat olahraga bagi para siswa yang letak sekolahnya berdekatan dengan alun-alun ini.  Waktu itu alun-alun masih berupa lapangan berumput dengan pohon beringin di keempat sudutnya. Penulis kurang tahu persisnya kapan pohon beringin ini mulai ditanam. Yang pasti, kini pohon-pohon beringin itu sudah semakin besar dan Nampak makin kokoh.

 Keberadaan pohon beringin ini pastinya tidak terlepas dari sejarah yang menyebutkan bahwa salah satu fungsi alun-alun pada zaman dahulu adalah sebagai tempat bertemunya rakyat dengan penguasa untuk mengadukan keluh kesah hidupnya. Dalam buku Tahta Untuk Rakyat karya Mohamad Roem dkk dikisahkan adanya tradisi pe-pe. Sebagaimana diketahui bahwa di alun-alun Yogyakarta pada zaman colonial, tepat dimana berdirinya wringin kurung (pohon beringin yang dibatasi pagar), jka seseorang berkeberatan dengan sebuah kebijakan, maka mereka akan duduk bersila seharian dengan mengenakan pakaian dan tutup kepala berwarna putih. Tata cara ini dinamakan tradisi pe-pe. Jika raja melihat keberadaan orang tersebut, maka raja akan memerintahkan untuk membawa orang tersebut menghadap dan mengadukan permasalahannya secara langsung. Adanya cara pe-pe ini menunjukkan bahwa pada zaman dahulu telah ada forum untuk memperjuangkan hak asasi manusia.

Gambar 17. Pohon Beringin di salah satu sudut Taman Aloon Aloon (foto koleksi pribadi)

Metamorfosa alun-alun tak dapat dipungkiri. Namun setidaknya filosofi alun-alun sebagai sebidang tanah yang membawa alun (alun adalah Bahasa Jawa untuk gelombang) yang dapat dimaknai sebagai hidup yang akan selalu memiliki tantangan dan cobaan. Adanya pohon beringin di alun-alun melambangkan pengayoman, keadilan, dan sifat abadi. Akar gantung beringin yang menjuntai dari atas ke bawah seharusnya juga mengingatkan manusia akan asal-usulnya (bisa berarti tempat asal/kebudayaan atau bisa juga asal-usul bahwa manusia diciptakan Tuhan dari tanah.

Sebagai ruang publik yang mudah diakses dengan budget yang terjangkau, Taman Aloon Aloon dapat digunakan sebagai alternatif destinasi wisata di tengah kota. Hampir setiap hari taman ini ramai oleh pengunjung, apalagi di Ahad pagi. Berbagai kegiatan dilakukan pengunjung, mulai sekadar jalan-jalan, jogging, bersantai bersama teman dan keluarga, swafoto, membeli aneka jajanan, hingga berkumpulnya berbagai komunitas, salah satunya komunitas sepeda. 

Gambar 18. Komunitas Sepeda di Taman Aloon Aloon (foto koleksi pribadi)

Namun, di masa pandemi ini, diharapkan para pengunjung tetap mematuhi protokol kesehatan demi kebaikan bersama sebagaimana pesan dari papan pengumuman yang terdapat di beberapa sudut Taman Aloon Aloon. Salam Sehat!!

Gambar 19. Papan Info Protokol Kesehatan di Taman Aloon Aloon (foto koleksi pribadi)

Gambar 20. Ayo ke Taman Aloon Aloon (foto koleksi pribadi)

Posting Komentar

0 Komentar