Waktu
ibarat aliran air yang tak dapat dibendung lajunya. Detik berganti menit, menit
berganti jam, jam berganti hari, hari berganti minggu, minggu berganti bulan,
dan bulan berganti tahun, demikian seterusnya terus bergulir. Tinggal beberapa
saat lagi, tahun 2018 akan segera berlalu dan berganti dengan tahun 2019. Meski
sebenarnya tahun hanyalah durasi waktu yang dilalui manusia dalam fase kehidupannya,
namun geliat perayaan pergantian tahun sudah dapat dirasakan bahkan jauh hari sebelum
tanggal 1 Januari. Pusat-pusat perbelanjaan ramai menawarkan diskon akhir
tahun, di sepanjang jalan bermunculan para pedagang terompet dan kembang api yang
diharapkan akan digunakan untuk menyemarakkan malam pergantian tahun.
Belajar
dari alam semesta, sebenarnya satu tahun adalah waktu yang dibutuhkan oleh bumi
untuk berevolusi, mengelilingi matahari dalam satu kali putaran dengan selamat.
Sehingga pergantian tahun seharusnya menandai bahwa usia bumi kian menua. Datangnya
siang yang kemudian digantikan malam merupakan dinamika dalam perjalanan hidup
manusia yang silih berganti diisi dengan suasana suka-duka, cinta-benci, berhasil-gagal,
sehat-sakit, dan sebagainya.
Namun
tak dapat dipungkiri bahwa manusia adalah makhluk selebrasi yang senantiasa
menginginkan perayaan di momen-momen yang dirasa spesial, malam pergantian
tahun diantaranya. Sudah menjadi tradisi dalam kehidupan (yang katanya) modern
ini untuk merayakan malam tahun baru dengan berkumpul di suatu tempat, makan-makan,
menikmati hiburan, menyalakan kembang api, dan meniup terompet. Tradisi ini
sudah membudaya di seluruh penjuru dunia, tak terkecuali umat muslim pun kadang
merasa ada yang kurang jika tidak turut serta merayakannya. Padahal sudah sejak
zaman Nabi Muhammad saw, terdapat larangan untuk merayakan tahun baru. Dikisahkan
pada zaman Jahilliyah, ketika Rasulullah datang ke Madinah, penduduknya
mempunyai dua hari yang dirayakan, yakni hari Nairuz dan Mihrajan. Hari Nairuz
adalah hari pertama dalam perhitungan tahun bangsa Arab yang diukurkan ketika
matahari berada pada titik bintang haml/aries. Hari Nairuz dalam perhitungan
tahun matahari versi bangsa Arab sama dengan hari pertama Muharram dalam tahun
berdasarkan bulan (Hijriyah). Merayakan Hari Nairuz artinya merayakan tahun baru
matahari (Masehi). Sementara itu hari Mihrajan adalah hari pertengahan tahun,
tepatnya ketika matahari berada pada titik bintang mizan/gemini di awal musim
semi, pertengahan antara musim dingin dan musim panas. Terkait dengan hal ini, Rasulullah
saw bersabda : “Sesungguhnya Allah swt telah menggantikan untuk kalian dua hari
tersebut dengan dua hari yang lebih baik, yaitu Hari Idul Adha dan Hari Idul
Fitri” (Abu Dawud dan An Nasa’i).
Merunut
sejarah ke belakang, suku Indian asli (Iroquois) merayakan tahun barunya pada
bulan Januari, Pebruari, atau Maret. Perayaan tahun baru ini biasanya terkait dengan musim panen atau awal
musim tanam. Mereka merayakan pergantian tahun dengan melakukan upacara pengusiran
roh jahat yang berbondong-bondong datang pada bulan-bulan tersebut dengan jalan
membuat bunyi-bunyian yang memekakkan telinga seperti membunyikan terompet atau
memukul drum. Baru pada sekitar tahun 1900-an, muncul tradisi merayakan tahun
baru dengan berkumpul di suatu tempat (hotel, tempat wisata, turun ke jalan)
dengan memakai aneka atribut, begadang, membunyikan terompet, dan menyalakan
kembang api.
Meski
sebenarnya introspeksi diri harus dilakukan setiap saat, namun ada baiknya kita
jadikan malam pergantian tahun sebagai waktu untuk bermuhasabah, merenungkan
apa saja pencapaian yang sudah kita raih dan target-target yang belum
terlaksana di tahun yang akan segera kita tinggalkan. Hidup ibarat menaiki
gerbong kereta. Didalamnya, kita akan bertemu dengan penumpang-penumpang lain
yang juga telah ditakdirkan Allah swt untuk menaiki gerbong yang sama dengan
kita. Penumpang-penumpang ini tentunya punya tujuan masing-masing, namun yang
pasti mereka adalah teman seperjalanan kita. Ada kalanya teman seperjalanan itu
ramah dan menyenangkan, memberikan banyak manfaat bagi kita. Namun tak jarang,
kita dipertemukan juga dengan seseorang yang seringkali melukai perasaan kita, entah
itu melalui ucapan maupun tingkah lakunya. Tak ada yang patut disesali dengan
itu semua. Allah mempertemukan kita semua untuk suatu alasan. Entah untuk
belajar atau mengajarkan, entah untuk sesaat atau selamanya, entah akan menjadi
bagian terpenting atau hanya sekedarnya, akan tetapi tetaplah menjadi yang
tebaik di waktu tersebut. Lakukan dengan tulus meski kadang tak menjadi seperti
yang diinginkan. Tidak ada yang sis-sia karena Allah yang mempertemukan...
Waktu
ibarat pedang, demikian nasihat seorang sufi kepada Imam Syafi’i Rahimullah
seperti yang tertuang dalam kitab Al Jawaabul Al Kaafi karya Ibnul Qayyim.
Waktu ibarat pedang, jika engkau tidak menebasnya maka ialah yang akan
menebasmu. Dan jiwamu jika tidak kau sibukkan dengan kebaikan, maka ia akan
menyibukkanmu dalam kebatilan. Karena itulah manfaatkan waktu sebaik-baiknya,
berkaryalah sebanyak-banyaknya, berprestasilah setinggi-tingginya, beribadahlan
sekhusyuk-khusyuknya, beramallah seikhlas-ikhlasnya, bekerjalah
sekeras-kerasnya, dan berdoalah tanpa pernah terputus. Jadikan pergantian tahun
ini sebagai momentum untuk berjanji kepada diri sendiri untuk menjadi pribadi
baru dengan sikap dan kebiasaan baru yang lebih positif, dengan target hidup
yang lebih terukur agar hidup lebih bermanfaat dan bermakna.
Ali bin
Abi Thalib mengajarkan untuk tidak membenci siapapun tidak peduli berapa banyak
mereka bersalah kepada kita. Hiduplah dengan rendah hati tidak peduli
seberapapun kekayaanmu. Berpikirlah positif tidak peduli seberapa keras
kehidupanmu. Berikanlah banyak meskipun menerima sedikit. Tetaplah berhubungan
dengan orang-orang yang telah melupakanmu dan maafkan orang-orang yang bersalah
padamu. Jangan berhenti mendoakan yang terbaik bagi orang yang kamu cintai. Karena
sejatinya memaafkan adalah kemenangan yang terbaik.
Di tahun
yang akan segera kita masuki ini, jangan pernah merasa cukup dengan ilmu yang
telah kita miliki. Allah mewajibkan atas orang bodoh agar ia belajar
sebagaimana ia mewajibkan atas orang pandai agar ia mengajarkan kepandaiannya. Karena
sesungguhnya ada dua jenis manusia yang tak akan merasa kenyang selamanya yakni
pencari ilmu dan pencari harta. Semoga kita senantiasa dipermudah untuk menjadi
golongan manusia yang pertama, insyaAllah…
Dalam
Al Qur’an ada banyak ayat yang menerangkan tentang pentingnya menghargai waktu.
Bahkan Allah swt pun bersumpah demi waktu (dalam QS Al ‘Ashr : 1-3) yang
artinya : “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian,
kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh dan nasehat menasehati supaya
mentaati kebenaran dan menasehati supaya menetapi kesabaran”. Sayangnya manusia
seringkali lupa untuk menghargai waktu. Rasulullah saw bersabda bahwa “Ada dua
kenikmatan yang banyak dilupakan oleh manusia, yaitu nikmat sehat dan waktu
luang” (HR Bukhori). Ada kalanya orang yang sehat tidak memiliki cukup waktu
untuk melakukan hal-hal yang bermanfaat sebagai bekal hidupnya kelak. Mereka justru
menggunakan waktu luangnya untuk hal-hal yang tidak berguna. Sebaliknya ada
orang yang memiliki banyak waktu luang tapi ia kurang sehat sehingga ia juga
tidak dapat melakukan aktifitas yang terlalu banyak. Oleh karena itulah selagi
kita masih dikaruniai kesehatan dan kesempatan, sudah selayaknya kita mengisi
hidup dengan hal-hal yang bermanfaat baik bagi diri sendiri maupun bagi orang
lain, seperti mencari ilmu dan mengajarkan ilmu.
Dikisahkan
dalam Dzailuth Thabaqotil Hanabilah karya Ibnu Rajab, Majdudin bin Taimiyah
apabila masuk WC dia berkata pada cucunya (Ibnul Qayyim) : “Bacalah buku ini
untukku, keraskan suaranya sehingga aku mendengarkannya”. Hal ini menunjukkan
antusiasme Majdudin bin Taimiyah terhadap ilmu sekaligus semangat untuk
menggapainya dan juga penjagaan beliau terhadap waktu. Lebih lanjut, Ibnu Mas’ud
juga pernah berkata bahwa : “Tiada yang pernah kusesali selain keadaan ketika
matahari tenggelam, ajalku berkurang, namun amalanku tidak bertambah”.
Demikian
pentingnya menghargai waktu. Selagi masih ada kesempatan, isilah dengan hal-hal
yang berguna, termasuk di saat-saat malam pergantian tahun. Apalagi negeri ini tengah
dirundung duka akibat banyaknya bencana yang melanda. Tentu sangat tidak patut
apabila kita membuat perayaan sementara saudara-saudara kita tengah prihatin
dilanda bencana. Tahun baru bukanlah sesuatu yang spesial. Yang spesial bukanlah
tanggal 31 Desember jam dua belas malam, tapi yang istimewa adalah sepertiga
malam yang terakhir. Yang hebat bukanlah menunggu detik-detik pergantian tahun,
tapi yang hebat adalah menunggu adzan Shubuh di masjid. Yang membahagiakan bukanlah
menghamburkan uang untuk berpesta dan menyalakan kembang api, tapi yang
membahagiakan adalah menyisihkan harta bagi mereka yang membutuhkan bantuan. Yang
luar biasa bukanlah mendeklarasikan harapan saat kembang api memercik di tengah malam pergantian tahun, tapi yang
luar biasa adalah untaian doa yang senantiasa tercurah di saat-saat Allah turun
ke dunia di setiap sepertiga malam yang terakhir. Tetaplah menjadi manusia yang
bersahaja dalam rupa namun luar biasa dalam doa. Sebab setiap dari kita akan
dimintai pertanggungjawaban di kehidupan yang selanjutnya kelak. “Kedua kaki seorang
hamba tidaklah beranjak pada hari kiamat hingga ia ditanya mengenai (1) umurnya
dimanakah ia habiskan, (2) ilmunya dimanakah ia amalkan, (3) hartanya bagaimana
ia peroleh dan (4) dimana ia infakkan, dan (5) mengenai tubuhnya, dimana
usangnya (HR. Tirmidzi). Semoga Allah swt meringankan langkah kita untuk menjadi pribadi yang lebih baik, Aamiin...
#Ya Rabb yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku
pada agamamu
#Jadikanlah hatiku ikhlas dalam menjalani setiap takdirmu
#Man Jadda Wajada
0 Komentar