JANGAN TERSIKSA KARENA BELAJAR


Hari ini sebagian besar sekolah di Indonesia memasuki masa-masa libur panjang akhir semester ganjil sekaligus libur akhir tahun. Liburan tentu saja disambut sukacita oleh para siswa setelah sebelumnya mereka merasa “tersiksa” dengan keberadaan serangkaian ujian sekolah yang harus dilalui.

Dalam proses belajar mengajar di sekolah, para siswa dituntut mampu mendapatkan ilmu pengetahuan dan keterampilan sebagai bekal bagi kehidupannya kelak. Sementara itu, dalam proses ujian, siswa dituntut mampu mendapatkan nilai yang terbaik. Kedua hal ini seharusnya dapat berjalan secara seimbang agar potensi siswa dapat meningkat secara berkesinambungan.

Namun pada kenyataannya, banyak siswa yang merasa sangat tersiksa dengan keberadaan ujian. Mereka belajar keras (bahkan bisa dikatakan sangat keras) pada saat-saat ujian. Bahkan ada istilah SKS (Sistem Kebut Semalam) dimana mereka membaca habis semua materi dalam satu semester tersebut untuk kemudian “memaksanya masuk kedalam otak”. Padahal ibaratkan seseorang mengisi botol dengan air, jika botol tersebut diisi secara perlahan-lahan maka air yang masuk kedalamnya akan jauh lebih banyak jika dibandingkan dengan botol yang diisi dengan air secara terburu-buru. Seandainya kegiatan belajar ini dijadikan sebagai suatu kebiasaan, tentulah mereka akan dengan tenang menghadapi ujian sekolah.

Yang lebih parah lagi, sebagian siswa justru tetap bersantai ria meski masa-masa ujian tengah berlangsung. “Ah, kan ada remidi”, kata mereka. Sebagai pendidik, tentulah miris mendengar ungkapan seperti ini. Sudah sepatutnya mindset seperti ini diubah. Bayangkan jika ujian yang dihadapi tidak sebatas ujian sekolah, melainkan ujian hidup. Tak selalu ada “REMIDI”, belum tentu ada kesempatan kedua dalam hidup, sebab kematian adalah sahabat yang terdekat dalam hidup manusia, yang selalu menemani langkah manusia, bahkan lebih dekat dari bayangan diri kita sekalipun.   

Para siswa seharusnya menyadari, pengorbanan kedua orang tuanya dalam mendidik, membesarkan, dan mencarikan penghidupan bagi mereka sehingga mereka mampu mengenyam pendidikan yang layak. Sungguh mereka punya harapan yang besar kepada anak-anaknya. Wahai putra-putri petani, rabalah telapak tangan orangtuamu, dan rasakan betapa kasarnya tangan mereka akibat terlalu sering memegang cangkul atau sabit. Atau pandanglah kulit legam mereka akibat terlalu sering terpapar sinar mentari saat mereka bekerja tanpa lelah di sawah. Pun bagi anak-anak para buruh angkut, pandanglah bahu-bahu ayahmu yang kian hari kian rapuh karena beratnya beban barang yang harus ia pikul setiap hari demi menghidupimu dan menyekolahkanmu. Mereka tak pernah mengeluh, karena mereka punya harapan besar bahwa putra-putrinya kelak akan memiliki penghidupan yang jauh lebih baik dari kehidupan mereka. Kemana komitmen kalian untuk menjadi “anak yang berbakti?”.

Karena itu mulai sekarang, tanamkan sikap positif dalam hidupmu. Buatlah target yang ingin kamu capai dalam hidupmu. Susun rencana yang matang untuk mencapai targetmu tersebut, dan segera buktikan dengan aksi yang nyata. Susun jadwal yang terarah dan teratur dalam hidupmu, dan patuhi apa-apa yang telah kamu rencanakan. Jadikan belajar sebagai suatu kebiasaaan setiap hari, tidak hanya dilakukan menjelang ujian saja. Perbanyaklah membaca dan buat ringkasan dari apa yang telah kamu baca, dan banyak-banyaklah berlatih dalam ilmu pengetahuan yang memerlukan keterampilan. Jika usahamu belum mencapai hasil seperti yang kamu inginkan, belajar lagi. Belajarlah pada orang yang lebih ahli, bisa teman, kakak kelas, guru, atau siapa saja yang kamu anggap punya keahlian di bidangnya. Apalagi, di era teknologi komunikasi seperti sekarang ini, mencari sumber belajar seharusnya menjadi suatu kegiatan yang mudah untuk dilakukan. Media massa dan internet tersedia luas. Proses belajar seharusnya menjadi suatu aktivitas yang tidak menyulitkan, bahkan bisa dibilang menyenangkan. Berteman dengan orang lain yang punya passion yang sama dalam belajar, tentu juga akan berpengaruh positif dalam pengembangan minat belajar. Intinya : Jangan Tersiksa Karena Belajar.

Memang mendapatkan nilai yang terbaik merupakan tujuan yang diinginkan oleh setiap siswa. Oleh karena itulah terkadang mereka menghalalkan segala cara untuk mencapainya. Tak jarang mereka bertanya pada teman atau membuka buku pelajaran saat ujian tengah berlangsung, atau ada pula siswa yang dengan sengaja menyiapkan secuil kertas contekan dengan harapan dapat membantunya mendongkrak nilai yang diperoleh. Bagi orang tua dan pendidik, tentu karakter semacam ini sangat memprihatinkan. Sejatinya proses menuju “nilai bagus” lah yang jauh lebih penting. Ujian seharusnya digunakan untuk menunjukkan seberapa jauh tanggung jawab siswa terhadap kemampuannya, seberapa besar tingkat kejujurannya, dan seberapa kuat komitmennya untuk menjadi anak yang berbakti kepada orang tua. Orang tua tentu akan sangat bangga jika putra-putrinya mampu memperoleh nilai yang terbaik, tapi mereka akan menjadi kecewa jika nilai ini diperoleh dengan cara-cara yang tidak terpuji. Jadi sudah saatnya mewujudkan mimpi para orang tua kita untuk menjadi putra-putri pilihan dengan akhlaq yang mulia.

Mulailah menjadikan belajar sebagai suatu kebiasaan. Untuk menjadikan belajar sebagai hobi, harus didasari dengan perasaan cinta. Jika kita mencintai ilmu yang tengah kita pelajari, maka tak akan ada kata sulit didalamnya. Kita akan memiliki rasa ingin tahu untuk terus menggali ilmu untuk kemudian mengembangkannya. Pada akhirnya, belajar akan menjadi suatu aktivitas yang menyenangkan, bukan lagi aktivitas menyiksa seperti yang hanya dilakukan menjelang ujian saja.

Mungkin pernah terpikirkan, kenapa susah-susah menghafal? Toh semuanya sudah tersedia di internet, tinggal browsing dan semua informasi yang dipertanyakan akan muncul. Atau kenapa sih susah-susah menghafalkan rumus-rumus trigonometri kalau semua soal dapat diselesaikan cukup dengan aplikasi photomath atau matlab atau sejenisnya. Toh jika saya bekerja sebagai pedagang (misalnya) ilmu itu tidak akan terpakai. Atau kenapa sih susah-susah belajar rol depan dan rol belakang, toh saya tidak ingin menjadi seorang pesenam. Atau kenapa sih susah-susah belajar sejarah, yang lalu biarlah berlalu (itu istilah atau bisa dibilang keluhan dari sejumlah siswa).

Proses belajar memang memerlukan kesabaran dan ketelatenan. Manusia istimewa seperti Nabi Adam AS pun tidak serta merta mengetahui nama-nama benda di dunia ini. Ia perlu belajar sebagaimana yang dikisahkan dalam QS Al Baqarah : 31. Pun dengan Nabi Musa AS yang berkata kepada Khidhr : “Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar diantara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?” yang terabadikan dalam QS Al Kahf : 66.

Hal lain yang tak kalah pentingnya agar ilmu yang kita peroleh penuh berkah adalah sikap kita dalam berkhidmat (memuliakan) guru. Tersebutlah seorang ulama besar yang disegani Al Qodhi Al Imam Fakhruddin Al-Irsyabandi, beliau mengatakan bahwa kedudukan mulia yang diperolehnya dikarenakan berkhidmat terhadap gurunya Al Qodhi Aba Yazid Addabussi. Ia pernah memasakkan makanan untuk gurunya ini selama 30 tahun tanpa pernah mencicipi rasanya. Hal senada juga pernah dilakukan oleh Imam Syafi’i. beliau pernah mencium tangan seorang lelaki tua yang telah mengajarkannya bagaimana cara mengetahui seekor anjing yang telah mencapai baligh. Begitulah, sekecil apapun ilmu yang didapat dari seorang “guru” tidak boleh diremehkan. Sebagaimana yang pernah diucapkan oleh Ali bin Abi Thalib RA : “Siapa yang pernah mengajarkan aku satu huruf, maka aku siap menjadi budaknya”. Begitulah Islam mengajarkan pada kita. Mencintai ilmu, berarti mencintai orang yang menjadi sumber ilmu. Menghormati ilmu, berarti harus menghormati pula orang yang memberi ilmu, itulah guru. Tanpa pengajaran guru, ilmu tak akan pernah bisa diperoleh siswa.

Dalam artian luas, guru dapat bermakna siapa saja yang telah mengajarkan sesuatu pada kita. Karena itulah terdapat pepatah : Unzur ma qala wala tanzur ma qala (lihatlah kepada apa yang dikatakan, jangan melihat siapa yang mengatakan). Namun bagi ilmu-ilmu Islam seperti tafsir, hadits, aqidah, dan cabang ilmu sejenisnya tentu saja perlu diperhatikan dari siapa si murid menerimanya. Sebagaimana yang dipesankan oleh Muhammad bin Sirin “sesungguhnya ilmu itu adalah agama, maka lihatlah dari siapa engkau mengambil agamamu”. Sebab dalam ilmu-ilmu ini harus sangat memperhatikan sanad (validitasnya).

Hal lain yang termasuk memuliakan ilmu adalah memuliakan kitab. Karena itulah sebaiknya para pencari ilmu tidak memegang kitab kecuali dalam keadaan suci. Hal ini dikarenakan ilmu adalah cahaya, demikian juga wudhu juga cahaya. Sehingga dengan berwudhu akan menambah cahaya ilmu.

Demikianlah beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menuntut ilmu. Sudah sepatutnya jika proses belajar diawali dengan pembelajaran mengenai Adabu Mu’allim wa Muta’allim (adab antara guru dan murid) sebagaimana yang diajarkan Islam. Hal ini bertujuan agar ilmu yang diperoleh siswa tidak sekedar terwujud dalam sederetan angka/nilai yang tertera dalam Raport/Laporan Hasil Belajar namun memiliki kebermanfaatan yang lebih luas bagi kehidupan generasi mendatang. Ujian sekolah atau ujian lainnya dalam konteks yang lebih luas, merupakan sebagian dari proses untuk mecapai tingkat kehidupan yang lebih tinggi, sebagaimana seorang siswa yang naik kelas atau naik ke jenjang pendidikan selanjutnya setelah ia dinyatakan lulus ujian. Karena sesungguhnya ujian itu adalah pembeda bagi mereka yang benar-benar berjihad dan bersabar (sebagaimana yang tertera dalam QS Al Furqan : 31) dan dengan ujian itu Allah swt akan menjadikan manusia mendengar dan melihat (sebagaimana yang tertera dalam QS Al Insan : 2). Ya, mendengar dan melihat dunia dan kehidupan secara lebih luas. Sungguh kita harus berusaha memperbaiki diri, tak pernah lelah untuk mencari ilmu yang bermanfaat, karena “Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri” (QS Ar Ra’d : 11).   

Wallahu a’lam bish shawab…

Posting Komentar

0 Komentar