BECAK, RIWAYATMU KINI

BECAK, RIWAYATMU KINI



Becak merupakan salah satu moda transportasi beroda tiga yang sempat menjadi primadona di Indonesia. Alat transportasi darat ini bergerak tanpa mesin dengan cara digowes seperti sepeda. Keberadaan becak di Indonesia mencapai puncak kejayaan sekitar tahun 1960 hingga 1980.

Berbagai sumber sejarah menjelaskan bahwa becak berasal dari Jepang, sedangkan nama becak berasal dari Bahasa Hokkien (atau Bahasa Hokkian) “Be Chia” yang artinya “kereta kuda”. Bahasa Hokkien adalah salah satu bahasa dalam rumpun bahasa Min Selatan yang berasal dari region Minnan di Tiongkok. Diperkirakan becak pertama kali dibuat pada tahun 1869 pada zaman Tokugawa (1603 – 1868). Pencabutan larangan kendaraan beroda dan kemajuan teknis di Jepang, memungkinkan perkembangan pembuatan becak.

Awalnya becak dibuat oleh seorang misionaris Amerika yang tinggal di Yokohama Jepang bernama Jonathan Goble, diperuktukkan untuk mengajak jalan-jalan istrinya yang lumpuh. Sketsa yang dibuat oleh Goble selanjutnya dikirimkan ke sahabatnya Frank Pollay, yang kemudian membawanya ke seorang pandai besi bernama Obadiah Wheeler. Sketsa tersebut akhirnya menjadi sebuah becak.

Orang-orang Jepang menyebut becak dengan jinrikisha (kendaraan yang ditarik oleh manusia). Jinrikisha ini menarik perhatian para bangsawan sehingga pada tahun 1870 pemerintah Jepang memberikan lisensi kepada tiga orang yakni Izumi Yosuke, Suzuki Tokujiro, dan Takayama Kosuke untuk membuat jenrikisha. Dua tahun berikutnya Tokyo telah dipenuhi dengan 40.000 jinrikisha dan menjadikannya sebagai alat transportasi populer.

Popularitas jenrikisha menyebar hingga daratan China, India, seluruh Asia Tenggara, hingga ke Afrika Selatan. Perkambangan selanjutnya, becak tidak lagi ditarik, melainkan dikayuh. Roda yang semula berupa ban mati, juga berubah menjadi ban angin yang dapat dipompa.

Becak mulai dikenal di Indonesia diperkirakan sekitar tahun 1930-an. Lea Jellanik dalam bukunya yang berjudul Seperti Roda Berputar menuliskan bahwa becak didatangkan dari Singapura dan Hong Kong. Sementara itu dalam Jawa Shimbun terbitan 20 Januari 1943 disebutkan bahwa becak dikenalkan ke Batavia dari Makassar pada tahun 1930. Hal ini diperkuat dengan catatan seorang wartawan Jepang yang mengadakan perjalanan ke berbagai daerah di Indonesia, menyebutkan bahwa pada waktu itu becak sudah ada di Makassar. Catatannya yang berjudul Pen to Camera dan diterbitkan tahun 1937 tersebut mengisahkan bahwa ada seorang pemilik toko sepeda asal Jepang yang tinggal di Makassar bernama Tayoshi Seiko-san. Sepinya penjualan membuat Seiko-san berinisiatif membuat kendaraan roda tiga yang disebut becak.

Sekitar tahun 1936, becak mulai nampak memenuhi jalan-jalan di Batavia yang awalnya hanya digunakan untuk mengangkut barang dagangan. Selanjutnya becak mulai digunakan untuk mengangkut penumpang yang dikenal dengan “roda tiga”. Kapasitas normal becak adalah dua orang penumpang dan seorang pengemudi. Istilah betjak, betja, atau beetja baru digunakan sekitar tahun 1940 dan becak mulai digunakan sebagai angkutan umum.

Awalnya pihak Belanda merasa senang dengan keberadaan becak di Batavia.  Jumlahnya meningkat pesat ketika Jepang datang ke Indonesia pada tahun 1942. Peraturan Jepang yang ketat terkait penggunaan bensin dan larangan kepemilikian kendaraan bermotor pribadi menjadikan becak sebagai alternatif terbaik sebagai sarana transportasi. Penguasa bahkan membentuk organisasi becak dan mengajarkan konsep politik, organisasi, dan latihan  pemuda untuk kepentingan perang.   

Perkembangan sarana transportasi tidak menyurutkan keberadaan becak. Pada tahun 1950-an, di Jakarta telah ada sekitar 25.000 – 30.000 becak dan jumlah ini menjadi lima kalinya pada tahun 1970-an.

Jumlah becak di ibukota mencapai puncaknya pada tahun 1966 yakni sekitar 160.000, jumlah terbesar sepanjang sejarah. Pemerintah pun berupaya mencari jalan untuk mengurangi jumlah tersebut, termasuk memasang target bahwa pada tahun 1979 Jakarta harus bebas becak. Kebijakan tersebut digagas oleh Gubernur Ali Sadikin dan dilanjutkan oleh gubernur periode berikutnya seperti Suprapto, Wigoyo Atmodarminto, dan Sutiyoso. Kehadiran 10.000 minica (bajaj, helicak, dan minicar) pada tahun 1980 semakin mengancam keberadaan becak. Becak dilarang untuk beroperasi di Jakarta berdasarkan Perda 11 Tahun 1988, yang di dalamnya tercantum bahwa kendaraan resmi hanya kereta api, taksi, bis, dan angkutan roda tiga bermotor. Pemerintah juga memprogramkan para tukang becak beralih profesi menjadi pengendara minica dan bahkan “membuang” becak-becak yang ada ke Teluk Jakarta untuk dijadikan rumpon (rumah ikan).


Perkembangan moda transportasi dan munculnya berbagai aplikasi angkutan online menjadikan becak kian tergusur. Kini, pengemudi becak kebanyakan adalah para bapak yang telah berusia paroh baya. Meskipun becak masih banyak ditemukan seperti di pasar dan di sekitar rumah sakit, namun jumlahnya sudah sangat jauh berkurang jika dibandingkan dengan beberapa dekade sebelumnya. Ongkos angkut menggunakan becak yang relatif lebih mahal jika dibandingkan dengan angkutan motor atau mobil online turut mengurangi minat masyarakat dalam menggunakan becak. Sebagai perbandingan, jika menggunakan jasa grab bike, tarif dasar minimum (0 – 4 km) hanya sekitar Rp8.000,00 – Rp11.000,00. Tarif untuk kilometer selanjutnya  adalah Rp2.000,00 hingga Rp2.750,00 per kilometernya. Jika menggunakan jasa becak, dengan jarak yang sama, pengguna layanan harus mengeluarkan biaya sekitar Rp15.000,00 hingga Rp25.000,00 itupun masih harus melalui proses tawar menawar terlebih dahulu sebelum mencapai kesepakatan harga.

Masih banyaknya jumlah penarik becak membuat pemerintah berpikir akan keberlanjutan kehidupan mereka. Beberapa kota (terutama kota-kota yang menjadi daerah tujuan wisata) membuat kebijakan becak wisata, dimana hanya becak yang boleh memasuki dan beroperasi di kawasan wisata. Kebijakan ini telah diterapkan misalnya di kawasan Jalan Malioboro Yogyakarta. Para pengunjung kawasan Wisata Malioboro dan sekitarnya dapat memanfaatkan jasa penarik becak untuk berkeliling tempat wisata seperti Jalan Malioboro, Tugu Jogja, Titik Nol Kilometer, Jogja National Museum, Taman Pintar, Gudeg Yu Djum, Pasar Beringharjo, Kebun Binatang Gembira Loka, Museum Sonobudoyo, Alun-alun Kidul, Taman Sari, Plengkung Gading, Museum Benteng Vredeburg, Rumah Hantu Malioboro, Kampung Wisata Kauman, dll.

Pemerintah Yogyakarta memang mengayomi para penarik becak ini. Becak telah menjadi salah satu ikonik kota wisata ini dan merupakan bagian yang tidaak terpisahkan dari kota Yogyakarta. Tukang becak sangat mudah ditemukan di kota ini dan dengan setia menawarkan jasa kepada pengunjung untuk berkeliling di sekitar kawasan Malioboro. Ongkos becak yang murah ditambah dengan keramahan para penarik becak dalam melayani pengunjung membuat becak di Yogyakarta masih merupakan sarana transportasi favorit.

Sejarah becak di Yogyakarta tak lepas dari perjalanan Ong Kho Sioe seorang penguasaha beras dan becak yang tersohor di Pecinan Ketandan pada tahun 1940-an. Ia tercatat memiliki empat rumah kongsi, yakni rumah kongsi OKS (Ong Kho Sioe) yang merangkap rumah candu, rumah kongsi OOP (Ong O Poo), rumah kongsi Suryatman, dan rumah kongsi Kantil. Waktu itu, becak banyak digunakan untuk mengangkut beras dan candu. Rumah kongsi OKS yang bergaya kolonial hingga kini masih ada dan pemiliknya adalah cucu Ong Kho Sioe yang bernama Alberta Gunawan.

Keberadaan becak yang terus berkurang dan tergusur oleh jasa kendaraan oline (ojek online ataupun mobil online) seperti yang terjadi di kota tempat tinggal penulis, memerlukan perhatian serius. Menurut pemikiran penulis, para penarik becak perlu dilokalisir seperti yang telah diterapkan di Yogyakarta. Namun jika tidak memungkinkan, sekiranya para penarik becak ini dapat diberikan pelatihan keterampilan sehingga mereka mampu berusaha di bidang yang lain. Bagaimanapun juga, becak adalah salah satu alat transportasi yang turut mewarnai kehidupan warga.

Posting Komentar

0 Komentar