Benda-benda di sekitar
kita umumnya akan melunak jika dikenai panas. Sayur-sayuran akan menjadi empuk
jika direbus. Pun beras yang semula keras akan menjadi nasi atau bubur yang
lembut setelah dimasak. Bahkan besi yang amat keras pun akan mencair jika dipanaskan
sehingga dapat ditempa atau dicetak dalam berbagai bentuk.
Namun bagaimana jika
benda yang dipanaskan itu adalah sebutir telur? Isi telur yang semula berbentuk
cair, ketika direbus akan mengeras. Apa yang sebenarnya terjadi dengan telur
yang direbus? Saat telur direbur, protein dalam telur mengalami suatu proses
yang dinamakan denaturasi. Saat dipanaskan, molekul penyusun
protein akan bergerak atau bergetar sangat cepat sehingga mengacaukan ikatan
molekul tersebut. Pemanasan ini juga menyebabkan terputusnya interaksi non-kovalen yang
ada pada struktur alami protein meski tidak memutuskan ikatan kovalennya yang
berupa ikatan peptida. Pemanasan putih telur pada suhu sekitar 60 –
70oC
akan mengakibatkan albumin membuka lipatannya dan menghasilkan suatu endapan
berupa zat padat putih yang tidak dapat kembali ke bentuk semula. Inilah
mengapa sebutir telur jika dipanaskan akan mengeras.
Bagaimana jika telur ini
diibaratkan peserta didik dan proses perebusan diibaratkan dengan pendidikan?
Dalam KBBI, pendidikan berasal dari kata dasar “didik” yang diartikan sebagai
memelihara dan memberi latihan mengenai akhlaq dan kecerdasan pikiran.
Berdasarkan Undang-Undang sisdiknas nomor 20 tahun 2003 bab I pendidikan
diartikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar
dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlaq mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, dan negara.
Sebagai Bapak Pendidikan
Indonesia, Ki Hajar Dewantoro pernah menyatakan bahwa pendidikan seharusnya
memiliki lima asas, yakni (1) Asas Kemerdekaan dimana setiap orang bebas dan
leluasa dalam memperoleh pendidikan meskipun tidak dibenarkan untuk bertindak
semau gue (2) Asas Kodrat Alam dimana setiap manusia tak dapat terlepas dari
sunatullah (3) Asas Kebudayaan dimana pendidikan seharusnya berakar dari
kebudayaan bangsa yang juga mengikuti perkembangan budaya luar (4) Asas Kebangsaan
dimana pendidikan harus dapat membina kesatuan bangsa dan (5) Asas Kemanusiaan
dimana pendidikan harus bisa mendidik anak menjadi manusia yang manusiawi.
Menilik kondisi dalam
masyarakat, banyak orang yang pandai dalam hal akademik namun kurang dapat memberikan
manfaat bagi orang-orang di sekitarnya bahkan ada pula yang merugikan orang
lain. Sebaliknya, ada orang yang secara akademis biasa saja, tapi lebih bisa
“diterima” masyarakat bahkan kehadirannya selalu dinantikan oleh orang-orang di
sekitarnya. Hal ini mungkin dikarenakan perangainya yang lemah lembut dan
ikhlas dalam membantu sesama. Alangkah indahnya seandainya banyak orang yang
secara akademik bagus demikian pula secara akhlaq juga mulia. Hal ini tentunya
dapat diusahakan melalui sistem pendidikan yang tepat.
Salah satu rahasia dalam
keberkahan orang-orang “sederhana” (maksudnya orang-orang yang mampu memberikan
manfaat bagi orang lain) ini adalah adanya ikatan yang kuat antara siswa dengan
para gurunya. Adalah khalifah Ali bin Abi Thalib yang menyadari betapa
pentingnya ilmu. Beliau begitu menghormati para pendahulunya yang mengajarinya
ilmu, hingga berkata “Saya siap menjadi budak kepada siapa saja yang
mengajariku satu huruf”. Ada pula Imam Ahmad bin Hambal (164 – 241 M), salah
satu ulama madzab 4 yang berasal dari Baghdad ini juga sangat tawadhu’ dan
hormat terhadap gurunya, Imam Syafi’i. Ulama yang terkenal sangat tegas dalam
hukum ini tetap mendo’akan gurunya meskipun seringkali berbeda pendapat
dengannya.
Ada baiknya sebagai
pendidik, kita belajar dari cara para ulama dalam mendidik para santrinya
dengan mujahadah (latihan batin) sehingga mereka siap diterjunkan ke
masyarakat. Banyak santri yang diajarkan kitab-kitab akhlaq seperti Safinatun
Najah (perahu keselamatan), Sullamut Taufiq (tangga menuju taufiq), Tafsirun
Jalalain, ‘Uqudul Lajin (ikatan suami istri), Tanbiqul Ghafilin (peringatan
bagi yang lalai), Ta’limul Muta’allim (kode etik pelajaran), dan lain-lain yang
sebenarnya bertujuan untuk melembutkan hati mereka. Pelajaran yang diulang-ulang
ini dimaksudkan agar para lulusan dapat mengamalkan ilmunya dan lebih barokah.
Mungkin dapat
dibandingkan dengan sistem pendidikan yang mementingkan pencapaian prestasi
akademik, mencari ilmu dengan niat untuk mendapatkan pekerjaan yang layak, menjadikan
ilmu sebagai kekayaan kognitif tapi miskin dalam hal adab, akhlaq, dan
moralitas. Murid-murid yang lahir dari pendidikan kontemporer kemungkinan tidak
akan memiliki akhlaqul karimah dan jiwa sholihun linafsihi wa nafi’un
lighoirihi (sholih untuk dirinya sendiri dan memberikan manfaat bagi orang
lain).
Hal sederhana lainnya
yang dapat dilakukan untuk melembutkan hati peserta didik adalah senyum.
Pengajaran yang disampaikan dengan santun dan senyum tentunya akan lebih mudah
dicerna oleh peserta didik dibandingkan dengan pembelajaran yang berlangsung
dalam suasana yang kaku dan penuh ketegangan. Dalam sebuah hadits riwayat
Muslim, pernah dikisahkan mengenai seseorang bernama Mu’awiyah bin al-Hakam
yang shalat bersama para sahabat dibelakang Rasulullah saw. Ketika seseorang
disampingnya bersin (dalam shalat), maka Mu’awiyah berkata “yarhamukallah” (semoga
Allah merahmatimu). Kejadian ini berlangsung dua kali sehingga para sahabat
memukul-mukul paha masing-masing dengan maksud memperingatkannya agar diam. Bukannya
diam, tapi Mu’awiyah terus saja berbicara. Setelah salam, Rasulullah saw
memanggilnya. Bukannya marah, Rasulullah malah meletakkan tangannya di bahu
Mu’awiyah dan berkata dengan santun dan sambil tersenyum penuh kasih sayang :
“Sungguh dalam shalat itu tidak dibenarkan berbicara, tetapi ia untuk membaca
Al Qur’an, berdzikir, dan bertasbih” (HR Muslim).
Sebagai pendidik, sudah
selayaknya menyayangi anak didiknya seperti anak sendiri. Kasih sayang dapat
dinyatakan dalam tiga jenis tindakan, yakni menunjukkan dengan sikap,
mengungkapkan secara lisan, dan memberikan sentuhan fisik. Sikap yang
menunjukkan kasih sayang misalnya adalah ekspresi wajah yang ramah dan penuh
senyum, mendengarkan saat anak menyampaikan pendapatnya, berjabat tangan dengan
erat, dan lain-lain. Adapun mengungkapkan kasih sayang secara lisan dapat
dilakukan dengan memanggil anak dengan panggilan-panggilan kesayangan yang
baik, berbicara dengan intonasi yang lemah lembut, memberikan ucapan sebagai
bentuk penghargaan ketika anak mencapai suatu prestasi, dan mengingatkan anak
yang melakukan suatu pelanggaran dengan kata-kata yang sopan dan lembut.
Sementara itu, mengungkapkan kasih sayang secara fisik misalnya dengan cara
mengelus kepala anak (bagi anak kecil) ataupun memberikan motivasi dengan
menepuk lembut punggung si anak.
Menyanyangi anak berarti
mengekspresikan rasa cinta yang ada di dalam hati kita. Dalam suasana yang
penuh kasih sayang anak akan cenderung lebih mudah menerima nilai-nilai
kebaikan sehingga diharapkan anak akan berkembang menjadi pribadi yang kreatif
dan mandiri.
Selain bersikap lemah
lembut dan penuh kasih sayang, seorang pendidik juga harus bersikap pemaaf.
Guru yang berkualitas adalah guru yang mampu mengatur dan mengendalikan segala
potensinya secara proporsional. Tentulah merupakan suatu tantangan apabila
menjumpai anak didik yang berperilaku tidak baik. Disitulah pendidikan berupaya
agar manusia berperilaku selayaknya manusia, bukan didasari hawa nafsunya.
Meskipun belum tentu pendidikan mampu mengubah karakter manusia secara total,
paling tidak kita sebagai pendidik telah mengupayakannya.
Salah satu hal penting
lainnya yang dapat dilakukan oleh seorang pendidik untuk menjadikan anak
didiknya berkualitas adalah musyawarah. Musyawarah dilakukan agar keputusan yang
diambil dalam suatu permasalahan tidak berdasarkan atas keputusan sepihak. Hal
ini telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw saat perang Khandaq, yakni ketika
mereka mendapat kabar bahwa kaum musyrikin akan menyerang kota Madinah sehingga
Rasulullah saw meminta para sahabat untuk menyusun strategi perang. Saat itu
Salman Al Farisi mengusulkan untuk membuat parit di sekitar Madinah dan usul
ini disetujui oleh Rasulullah saw dan para sahabat lainnya. Apa yang dilakukan
Nabi tersebut sebagai wujud menghargai perbedaan pendapat. Untuk lingkungan
pendidikan, diskusi sangat diperlukan untuk mengembangkan intelektual peserta
didik. Melalui diskusi, seorang pendidik akan dapat mengevaluasi tingkat
penguasaan peserta didik terhadap materi yang sedang diajarkan, sebagai sarana
memecahkan masalah, dan sebagai sarana untuk meningkatkan keterampilan dalam
berkomunikasi.
Demikianlah, dengan
perilaku yang lemah lembut, senyum, pemaaf, dan bermusyawarah, diharapkan
proses pendidikan dapat berjalan dengan baik dan nantinya mampu melahirkan
generasi-generasi penerus bangsa yang tidak hanya handal dalam bidang akademik,
tapi juga memiliki ketinggian akhlaq dan budi pekerti. Dengan kata lain,
janganlah pendidikan itu ibarat merebus telur yang menjadikan hati manusia
menjadi keras dan sulit menerima petunjuk ke arah kebaikan.
Wallahua’lam bishshawab…
0 Komentar