NYETHE, MEMBATIK DI ATAS ROKOK Part 1

 


A.     Sejarah Kopi Dunia

Berbicara mengenai aktivitas nyethe, pastilah tidak dapat dipisahkan dengan kopi. Sebab hakikatnya nyethe adalah mengoleskan ampas kopi ke batang rokok yang akan dikonsumsi. Oleh sebab itu, ada baiknya kita pelajari terlebih dulu mengenai kopi.

Kopi merupakan tanaman biji-bijian yang diperkirakan mulai dikenal sekitar tahun 800-850 SM oleh suku Galla di Afrika Timur. Saat itu, banyak orang di Benua Afrika, terutama bangsa Ethiopia mengonsumsi biji kopi yang dicampurkan dengan lemak hewan dan anggur untuk memenuhi kebutuhan protein dan energi tubuh.

Penemuan kopi sendiri terjadi secara tidak sengaja, ketika seorang penggembala kambing yang bernama Khalid (seorang Abyssinia) mengamati kawanan kambing gembalaannya yang tetap terjaga bahkan setelah matahari terbenam setelah memakan sejenis buah beri. Ia pun mencoba memasak dan memakannya. Kebiasaan ini menyebar ke berbagai negara di Afrika dengan metode penyajian yang masih konvensional. Beberapa ratus tahun kemudian, biji kopi dibawa melewati Laut Merah dan tiba di Arab dengan metode penyajian yang lebih maju.

Bangsa Arab awalnya merebus biji kopi untuk diambil sarinya dan dikonsumsi sebagai minuman penambah energi saat beribadah di malam hari. Kepopuleran kopi meningkat seiring dengan penyebaran agama Islam pada abad ke-13 yang bermula dari daerah Mocha, salah satu daerah di Yaman hingga mencapai Afrika Utara, Mediterania, dan India. Karena terbukti laku sebagai komoditas perdagangan, maka kopi mulai ditanam secara massal.

Pada tahun 1000 Masehi, Ibnu Sina, Seorang ilmuwan dari Persia  menyelidiki zat kimia yang terkandung dalam kopi. Catatannya diakui sebagai catatan pertama yang meneliti kopi dari sisi ilmu kedokteran dan kesehatan. Penelitian ini diperkuat oleh seorang ahli kimia di Marseilles, Prancis yang memberikan kesaksian pada tahun 1679 M bahwa kopi merusak dan membahayakan kesehatan.

Pada tahun 1400 Masehi, kopi mulai menyebar di jazirah Arab dengan bermunculannya kedai-kedai kopi, terutama di kota Mekkah dan Madinah. Berikut ini adalah tabel penyebaran kopi di berbagai negara yang bersumber dari Wikipedia:


Di awal penyebarannya, belum ada budidaya kopi di luar daerah Arab, karena bangsa Arab selalu mengekspor biji kopi infertile (tidak subur) dengan cara memasak dan mengeringkannya terlebih dahulu. Barulah pada tahun 1600-an, seorang peziarah India bernama Baba Budan berhasil membawa biji kopi yang fertile keluar dari Mekah dan menumbuhkannya di berbagai daerah di luar Arab.

Biji kopi pertama masuk ke Eropa secara resmi pada tahun 1615 dibawa oleh saudagar Venesia. Ia mendapatkan pasokan biji kopi dari Turki, namun dikarenakan jumlahnya yang tidak mencukupi, maka bangsa Eropa mulai membudidayakannya. Bangsa Belanda adalah salah satu negara Eropa yang berhasil membudidayakan kopi.

Masuknya kopi ke Indonesia dimulai pada tahun 1696 diawali dengan seorang warganegara Belanda bernama Zwaardecroon yang membawa beberapa benih tanaman kopi dari Malabar, India ke Pulau Jawa. Mereka membudidayakan benih ini di daerah Kedawung (dekat Batavia) namun tanaman ini rusak oleh bencana gempa dan banjir.

Upaya kedua dilakukan pada tahun 1699 dengan mendatangkan stek pohon kopi dari Malabar. Pada tahun 1706 sampel kopi yang dihasilkan dari tanaman di Jawa dikirim ke negeri Belanda untuk diteliti di Kebun Raya Amsterdam. Hasilnya sukses besar, kopi yang dihasilkan memiliki kualitas yang sangat baik.

Sebagaimana diketahui, pada masa itu, Indonesia berada di bawah kekuasaan penjajah Belanda. Untuk mendapatkan hasil yang sebesar-besarnya, maka VOC (Organisasi Perdagangan Belanda) mengembangkan Sistem Penanaman Wajib Kopi di Priangan yang dikenal sebagai Prianganstelsel (Nurhajarini, 2009: 10).

Sistem Prianganstelsel dimulai dengan pembukaan hutan untuk perkebunan dan dilanjutkan dengan pembagian bibit kopi kepada para bupati. Bupati Aria Wiratanu yang menjabat di Cianjur pada tahun 1711 merupakan bupati pertama yang menyerahkan hasil tanaman wajib kopi. Hasil kopi Priangan meningkat secara signifikan sejak tahun 1720 sehingga dapat menyaingi hasil kopi dari Yaman.

Sistem penanaman wajib kopi ini mengalami banyak penyelewengan yang dilakukan oleh para penguasa lokal. Para penguasa lokal ini memotong premi yang seharusnya diterima oleh petani dan hal ini memicu pemberontakan pada tahun 1726. Akibat banyaknya pemberontakan, akhirnya VOC dibubarkan, tepatnya pada tanggal 31 Desember 1799. Dan sejak tahun 1800, kekuasaan VOC di Indonesia diambil alih secara langsung oleh pemerintah Belanda (Republik Bataaf).

Pada masa 1800 – 1830, pemerintah Belanda memberlakukan Sistem Sewa Tanah yang dipelopori oleh Letnan Jenderal Thomas Stanford Raffles. Dalam sistem ini, pemerintah Belanda menyewakan kebun-kebun kopi kepada kepala desa dan mengadakan kontrak penyerahan hasil tanaman atau pengolahan produksi antara pengusaha Eropa dengan penduduk melalui kepala desa. Pemerintah juga membatasi kerjasama dengan orang-orang Cina di pedesaan serta membeli kembali tanah-tanah partikelir (swasta). Selama penerapan sistem sewa tanah ini, hasil tanaman ekspor termasuk kopi mengalami kemunduran. Akhirnya pada tahun 1830, sistem sewa tanah dihapuskan ketika pemerintahan berada di bawah Gubernur Jenderal Van den Bosch.

Gubernur Jenderal Van den Bosch menerapkan sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel). Sistem Tanam Paksa mewajibkan para petani menanam tanaman yang laku di pasaran dunia. Sistem tanam paksa disosialisasikan antara tahun 1830 hingga tahun 1835, dan pada tahun 1840 hampir seluruh daerah di Jawa telah melaksanakan sistem ini.

Sistem Tanam Paksa oleh pemerintah kolonial Belanda diperkenalkan di Jawa dan sebagian kecil daerah di luar Jawa. Tanah-tanah yang dipakai untuk tanam paksa adalah tanah-tanah yang berada langsung di bawah kekuasaan pemerintah Hindia Belanda, kecuali daerah Batavia, Bogor, dan tanah-tanah partikelir.

Daerah Yogyakarta dan Surakarta yang berada di bawah kekuasaan para raja tidak terkena sistem tanam paksa. Di daerah itu berlaku sistem persewaan. Dalam sistem tanam paksa, pelaksanaan pengawasan lapangan diserahkan kepada para penguasan lokal (residen) yang mendapatkan “bonus” (cultuurprocenten) sesuai dengan banyaknya hasil tanaman.

Adapun daerah-daerah yang termasuk dalam sistem tanam paksa adalah Karesidenan Banten, Priangan, Karawang, Cirebon, Tegal, Pekalongan, Semarang, Jepara, Rembang, Surabaya, Pasuruan, Besuki, Pacitan, Kedu, Bagelen, Banyumas, Madiun, dan Kediri (Nurhajarini, 2009: 19). Di daerah-daerah yang tekena tanam paksa, jenis tanaman yang ditanam tidak selalu sama, tergantung pada jenis tanah dan iklim daerah tersebut. Namun kopi merupakan tanaman yang paling banyak ditanam di beberapa karesidenan di pulau Jawa.


B.     Masuknya Kopi ke Tulungagung

Sebagai salah satu daerah yang berada di bawah Karesidenan Kediri, pada sekitar tahun 1830 Tulungagung juga tak luput dari pemberlakuan sistem tanam paksa. Waktu itu Tulungagung masih bernama Ngrowo dengan pusat pemerintahan di Kalangbret dan dipimpin oleh Bupati R.M.T. Djajaningrat (1831-1855) (Akhyar, 2016: 140).  

 Di Tulungagung awalnya kopi ditanam di pegunungan Wilis. Lokasi ini dipilih karena daerah itu memiliki potensi alam yang cocok untuk tanaman kopi. Potensi tersebut diantaranya tanahnya yang berupa dataran tinggi dengan hawa yang sejuk dan kontur yang bergunung-gunung sehingga dapat melindungi perkebunan kopi dari tiupan angin besar.

Jenis kopi yang dikembangkan waktu itu adalah kopi jenis Arabica yang didatangkan langsung dari Yaman. Pada awalnya pemerintah Belanda menanam kopi di daerah sekitar Batavia (Jakarta), Sukabumi, Bogor, Banten, Priangan, Mandailing, dan Sidikalang (Manastas, 2013: 13). Karena hasilnya yang memuaskan, maka pemerintah Belanda waktu itu memerintahkan kepada para pemimpin yang daerahnya sesuai untuk tumbuh kembang kopi, untuk menanam kopi, termasuk daerah Tulungagung yang berhawa sejuk. Biji-biji kopi kemudian dibagikan kepada para bupati untuk ditanam di daerah masing-masing dan hasilnya diserahkan kepada VOC dengan harga yang sangat rendah.

Pada tahun 1878 hampir seluruh perkebunan kopi yang ada di Indonesia terutama yang berada di dataran rendah rusak terserang penyakit karat daun atau Hemileia vastatrix (HV). Pada waktu itu, jenis kopi yang ada di Indonesia adalah jenis Arabica. Untuk menanggulanginya, Belanda mendatangkan kopi jenis Liberica yang diperkirakan lebih tahan terhadap penyakit karat daut. Namun rupanya tanaman kopi liberika juga mengalami hal yang sama, rusak terserang karat daun. Pada tahun 1907, Belanda mendatangkan spesies lain yakni kopi Robusta, yang mendatangkan hasil yang sangat baik, bahkan Belanda menjadi pemasok kopi terbesar di dunia. Kopi jenis inilah yang banyak dibudidayakan hingga sekarang.

Pasca kemerdekaan Indonesia tahun 1945, seluruh perkebunan kopi Belanda yang ada di Indonesia di nasionalisasi. Sejak itu Belanda tidak lagi menjadi pemasok kopi dunia.


C.     Jenis-jenis Kopi

Berdasarkan catatan International Coffee Organization (ICO), terdapat empat jenis kopi yang diperdagangkan secara global yakni kopi arabica, kopi robusta, kopi liberika dan kopi excelsa. Keempat jenis kopi tersebut berasal dari tiga spesies tanaman kopi. Arabica dihasilkan oleh tanaman Coffea arabica. Robusta dihasilkan tanaman Coffea canephora. Sedangkan liberika dan excelsa dihasilkan oleh tanaman Coffea liberica, tepatnya Coffea liberica var. Liberica untuk kopi liberika dan Coffea liberica var. Dewevrei untuk kopi excelsa.

Dari empat jenis kopi yang ada, jenis Arabica dan Robusta adalah jenis yang paling banyak dibudidayakan di Indonesia. Berikut disajikan perbedaan antara kedua jenis kopi tersebut (Manastas, 2013: 15) :


Salah satu jenis kopi yang merupakan subvarietas khas dari Indonesia adalah kopi Luwak. Pada dasarnya Kopi Luwak adalah kopi jenis Arabica yang dimakan oleh luwak (sejenis musang). Bagian biji kopi yang tidak dapat dicerna oleh luwak akan keluar bersama kotorannya. Karena telah bertahan cukup lama dalam saluran pencernaan luwak, maka biji kopi ini mengalami fermentasi oleh bakteri sehingga memberikan citarasa tambahan yang unik. Hal ini menyebabkan harga jual kopi luwak adalah yang tertinggi di dunia.

Gambar 1. Jenis-jenis Kopi : A. Kopi Arabica    B. Kopi Robusta    C. Kopi Luwak
(foto diambil dari Wikipedia)

Pada tahun 2013, The Seattle Times melaporkan bahwa harga kopi global turun lebih dari 50% dari tahun ke tahun. Hal ini menyebabkan para petani di Thailand, memberikan biji kopi gading hitam ke gajah untuk dimakan. Menurut penelitian, enzim pencernaan gajah ini  mengurangi rasa pahit pada biji kopi, sehingga kotoran gajah yang masih mengandung biji kopi dikumpulkan kemudian dijual dengan harga yang mencapai $1100 per kilogram, menjadi kopi termahal di dunia sekitar tiga kali lipat lebih mahal dari biji yang dipanen dari kopi Luwak Indonesia.


D.      Perkembangan Produksi Kopi di Tulungagung

Dewasa ini kopi ditanam di lebih dari 50 negara di dunia. Brasil, Vietnam, Kolombia, Indonesia dan Etiopia merupakan negara-negara penghasil kopi terbesar. Brasil merupakan penghasil kopi terbesar yakni sekitar sepertiga dari total produksi kopi dunia. Pada tahun 2015, Brasil menghasilkan sekitar 2,5 juta ton biji kopi dan didominasi oleh jenis arabika sekitar 80% dan sisanya jenis robusta. Di tahun yang sama, Indonesia menempati posisi keempat sebagai negara penghasil kopi. Menurut Gabungan Eksportir Kopi Indonesia (GAEKI), sekitar 83% produksi kopi Indonesia dari jenis robusta dan 17% arabika.

Di Tulungagung, tanaman kopi banyak dibudidayakan di Kecamatan Sendang di kaki Gunung Wilis. Sementara itu, jenis kopi yang banyak dihasilkan adalah kopi jenis Robusta. Kata robusta berasal dari kata “robust” yang artinya kuat. Nama ini sangat cocok dengan sifat kopi Robusta yang postur dan tingkat kekentalannya kuat.

Hal yang paling khas dari kopi Robusta adalah aromanya yang cenderung lebih kalem, tidak kuat seperti kopi arabika. Namun demikian, kopi ini memiliki kandungan kafein yang lebih tinggi sehingga di pasaran kopi ini banyak dijual untuk para pecinta kopi.

Hasil produksi kopi Gunung Wilis jenis arabika ini kemudian diolah oleh seorang pengusaha Kurnia Ika Kusuma dengan mendirikan Pabrik Kopi Lintang sekaligus Omah Kopi di Dusun Surenpaten Desa Balerejo  untuk pemasarannya. Upaya pengelolaan kopi ini menghadapi kendala dimana produktivitas petani masih rendah meskipun permintaan dan harga selalu naik. Untuk membantu mengatasi kendala tersebut, DPRD bekerja sama dengan Kantor Perwakilan Bank Indonesia Kediri melakukan terobosan dengan melakukan pembinaan terhadap petani kopi di lereng Gunung Wilis yang meliputi 6 kabupaten (Tulungagung, Kediri, Nganjuk, Blitar, Madiun, dan Trenggalek). Hal ini dilakukan mengingat peluang usaha kopi yang sangat menjanjikan. Bahkan ada prediksi internasional bahwa pada tahun 2025 akan terjadi kelangkaan kopi.

Selama ini tanaman yang masih tersisa di bekas perkebunan Belanda sebenarnya masih berproduksi, namun hasilnya kurang baik. Pengetahuan dasar tentang kopi serta tata cara pengelolaan tanaman, teknik petik, hingga bekal pengolahan pasca panen dirasa masih kurang sehingga harga kopi hasil perkebunan rakyat tidak terlalu bagus bahkan cenderung terus jatuh. Hal ini menyebabkan minat dan semangat warga untuk bertahan di sektor pertanian perkebunan kopi merosot drastis dalam kurun 2-3 dasawarsa terakhir. Oleh karena itu, BI Kediri memutuskan ikut andil melakukan pembinaan. Langkah pertama yang dilakukan BI Kediri adalah dengan melakukan survei lapangan. Hasilnya, potensi pengembangan produksi kopi dinilai masih besar. Warga memiliki minat dan tanaman kopi bisa hidup di bawah tanaman tegakan yang sudah ada di lahan yang tersedia.

Langkah selanjutnya yang dilakukan Kantor Perwakilan Bank Indonesia Kediri ditandai dengan pemberian 3.000 bibit kopi bersertifikat unggul jenis Arabica yang didatangkan langsung dari Jember kepada pengelola lahan eks-perkebunan zaman Belanda. Menurut Djoko Raharto (Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia Kediri), bibit kopi Arabica dari wilayah tapal kuda tersebut bisa panen setelah berusia dua tahun. Selain itu, BI juga memberikan bantuan alat pengolahan kopi kepada kelompok petani kopi. Diharapkan kelompok ini bisa berkembang dan menular ke kelompok-kelompok lainnya. Selain itu, BI juga menggagas kerjasama dengan Perhutani. Perhutani menyatakan siap jika lahannya ditanami kopi (Sujarwoko, 2017).

Saat dikonfirmasi, Bupati juga mendukung langkah BI Kediri ini. Bupati menyatakan bahwa selama ini potensi kopi di kecamatan Sendang belum digarap secara maksimal. Bahkan areal bekas perkebunan Belanda sudah dibabat dan dijadikan lahan Agropolitan untuk tanaman sayur dan buah jangka pendek seperti pisang serta kebun bunga. Dari sisi keamanan lingkungan, seharusnya kopi lebih dianjurkan untuk ditanam mengingat lahan yang berupa lereng. Tanaman kopi dirasa lebih mampu menahan tanah dari erosi.

Gambar 2. Kopi Wilis Tulungagung
(foto diambil dari https://www.cendananews.com/)

Melihat demikian besarnya animo masyarakat dalam mengonsumsi kopi dan banyaknya manfaat yang terkandung dibalik kopi, maka sudah selayaknya jika dikembangkan usaha-usaha untuk memperbesar produksi kopi, baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya.

Indonesia merupakan Negara penghasil kopi terbesar keempat di dunia setelah Brazil, Vietnam, dan Kolombia. Jumlah penduduk Indonesia yang terus bertmabah setiap tahunnya dan ketersediaan lahan yang terbatas, membuat luas perkebunan kopi semakin berkurang. Petani lebih memilih menggunakan lahannya untuk menanam tanaman yang lebih cepat menghasilkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti palawija, buah, sayur, maupun bunga. Dimungkinkan juga petani akan lebih memilih menanam tanaman yang dapat dipanen setiap minggu seperti sawit atau karet, tidak seperti kopi yang masa panennya setahun sekali.

Dari data Kementerian Pertanian, tercatat bahwa pada tahun 2014 produksi kopi nasional mencapai 643.857 ton dengan produktivitas 716 kilogram per hektar. Sedangkan pada tahun 2015 terjadi penurunan produksi kopi mencapai 639.412 ton dengan produktivitas 706 kilogram per hektar. Menurut Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian, penurunan produksi ini kemungkinan disebabkan oleh kurangnya perhatian dari petani akibat harga jual kopi yang relatif tidak menarik. 

Hal lain yang dapat menurunkan produksi kopi diantaranya adalah umur tanaman kopi yang semakin tua yang tidak diimbangi dengan kegiatan peremajaan (replanting). Pengelolaan kebun yang tidak maksimal juga merupakan faktor yang turut berperan dalam rendahnya produksi kopi tiap hektarnya. Selain itu, harga kopi yang tidak menentu sementara biaya produksi yang tinggi menyebabkan tidak sebandingnya antara pengeluaran dengan pendapatan petani kopi. Hal ini diperparah dengan lemahnya kelembagaan kelompok di tingkat petani.

Untuk mengatasi beberapa permasalahan dalam produksi kopi di atas, dapat dilakukan beberapa hal berikut :

  1. Perlu dukungan dari pemerintah dalam aspek pengelolaan tanaman seperti kemudahan dalam memperoleh bibit, pupuk, dan pembinaan (penyuluhan) secara lebih intensif
  2. Meremajakan kembali tanaman kopi yang sudah tua dan tidak produktif
  3. Menggiatkan petani untuk mengikuti program sertifikasi kopi baik yang diadakan oleh kelompok tani maupun perusahaan kopi untuk meningkatkan produksi dan menjamin kepastian harga
  4. Melibatkan semua stake holder untuk meningkatkan produksi kopi

Sebenarnya Indonesia memiliki peluang yang besar unruk menjadi negara penghasil kopi kelas dunia. Keanekaragaman jenis dan rasa kopi di setiap daerah di Indonesia merupakan potensi yang patut diunggulkan. Kementerian Pertanian (Kementan) giat mendorong produk-produk khas seperti kopi Aceh, kopi Lampung, kopi Toraja, dan kopi dari daerah lainnya yang memiliki spesifikasi tertentu untuk mendapatkan sertifikat organik dan sertifikat indikasi geografis yang mencirikan produk itu berasal dari daerah tertentu.  Kementan juga berupaya mengembangkan kopi nasional dengan menyediakan benih-benih unggulan agar petani mampu menghasilkan kopi yang berkualitas dengan produktivitas tinggi.

Pada tahun 2015, ekspor kopi Indonesia tercatat mencapai 502.021 ton dengan nilai 1,197 juta dollar AS. Pada tahun 2016 produksi kopi nasional mencapai 600.000 ton namun dengan harga jual yang kurang memuaskan. Hal ini mungkin disebabkan karena kualitas kopi yang kurang bagus akibat faktor cuaca yang cenderung hujan dalam jangka waktu yang lama. Pada tahun 2017, produksi kopi mengalami peningkatan yang cukup signifikan, yakni mencapai 660.000 ton dengan harga jual yang cukup memuaskan. Hal ini mungkin dikarenakan curah hujan yang telah kembali normal. Gabungan Eksportir Kopi Indonesia (GAEKI) menyatakan produksi kopi di tahun 2017 mengalami kenaikan sebesar 10% dari tahun sebelumnya dengan 65% produksi kopi nasional berasal dari kopi Sumatera.

GAEKI memprediksi, pasar kopi baik nasional maupun untuk ekspor masih sangat besar. Pasalnya, saat ini jumlah pecinta kopi terus bertumbuh seiring dengan tren minum kopi yang kian meningkat. Hal ini dapat diamati dati makin menjamurnya kafe-kafe, baik yang berskala kecil hingga besar, dengan tema yang masih konvensional maupun yang modern. Makin tingginya permintaan kopi, baik nasional maupun mancanegara ini hendaknya dapat memotivasi petani dalam meningkatkan produksinya, baik dari segi kuantitas maupun kualitas.

Berbeda dengan GAEKI, ada sedikit perbedaan data yang diperoleh dari Kementan. Kementan mencatat bahwa produksi kopi nasional pada tahun 2016 adalah sebesar 639.305 ton dan pada tahun 2017 turun 0,27% ke angka 637.539 ton. Perbedaan data ini sangatlah wajar, mengingat tidak semua petani melaporkan hasil produksinya, baik ke Kementan maupun GAEKI.

Sementara itu, Kabupaten Tulungagung yang sangat terkenal dengan tradisi nyethe-nya, juga merupakan salah satu daerah penghasil kopi jenis Robusta yang patut untuk diperhitungkan di Jawa Timur. Berikut data mengenai hasil produksi kopi yang berhasil diperoleh dari Dinas Pertanian Kabupaten Tulungagung :


Dari tabel di atas terlihat bahwa daerah penghasil kopi terbesar di Kabupaten Tulungagung adalah kecamatan Sendang, yakni dengan luas lahan kopi sebesar 230 hektare dan jumlah pekebun sebanyak 658 KK. Adapun produksi kopi disini dihitung dalam bentuk ose kering (kopi yang siap digoreng sangrai) dengan harga rata-rata Rp 11.000,00 per kilogramnya. Namun produksi dari tahun 2015 hingga 2017 masih stagnan di angka 79 ton. Oleh karena itulah diperlukan suatu usaha untuk meningkatkan produksinya, tidak saja dari segi kuantitas, tapi juga kualitasnya.

Melihat fenomena ini, pada tahun 2016 lalu Dinas Pertanian (dalam hal ini adalah bagian perkebunan) melakukan terobosan dengan penanaman bibit kopi arabika sebanyak 60.000 bibit di desa Geger dan 100.000 bibit di desa Nglurup. Kedua desa ini berada di Kecamatan Sendang. Hal yang sam juga dilakukan pada tahun 2017, yakni penanaman bibit kopi arabika sebanyak 100.000 bibit di desa Nglurup Kecamatan Sendang dan 100.000 bibit di desa Sidomulyo Kecamatan Pagerwojo. Usaha ini tentunya harus diimbangi dengan peningkatan ketrampilan para pekebun dalam mengelola tanah perkebunannya, mulai dari masa tanam, masa perawatan, masa panen, dan masa pasca panen. Dengan meningkatnya kualitas hasil panen, diharapkan harga komoditas kopi Tulungagung dapat naik sehingga kesejahteraan para pekebun juga akan semakin membaik.

 

E.      Budaya Ngopi

Budaya ngopi telah melekat di berbagai lapisan masyarakat Indonesia. Kopi seakan memiliki kekuatan magis yang dapat mengakrabkan suasana. Mulai dari yang tidak kenal menjadi kenal, bisa merekatkan si tukang becak dengan pejabat, bahkan bisa menyelesaikan suatu permasalahan.

Sebelum lebih jauh menelusuri budaya ngopi ada baiknya dimulai dengan mengetahui asal usul kata “kopi” itu sendiri. Menurut Wiliam H. Ulker dalam bukunya All About Coffee (1922) kata “kopi” mulai masuk kedalam bahasa-bahasa Eropa sekitar tahun 1600-an. Kata tersebut diadaptasi dari dari Bahasa Arab “qahwa” yang merujuk pada nama sejenis minuman yang terbuat dari biji yang diseduh dengan air panas. Biji tersebut diketahui berasal dari buah yang dihasilkan oleh tanaman kopi.

Masih menurut Ulker, asal-usul kata “kopi” secara ilmiah mulai dibicarakan dalam Symposium on The Etymology of The Word Coffee pada tahun 1909. Dalam simposium ini secara umum kata “kopi” diyakini merujuk pada istilah dalam bahasa arab “qahwa”, yang mengandung arti “kuat”. Dari bahasa Arab istilah “qahwa” diadaptasi ke dalam bahasa lainnya seperti seperti bahasa Turki “kahve”, bahasa Belanda “koffie”, bahasa Perancis “café”, bahasa Italia “caffè”, bahasa Inggris “coffee”, bahasa Cina “kia-fey”, bahasa Jepang “kehi”, dan bahasa melayu “kawa”. Pada faktanya hampir semua istilah untuk kopi di berbagai bahasa memiliki kesamaan bunyi dengan istilah Arab.

Di Indonesia, besar kemungkinan kata “kopi” diadaptasi dari istilah Arab melalui bahasa Belanda “koffie”. Dugaan yang logis karena Belanda yang pertama kali membuka perkebunan kopi di Indonesia. Tapi tidak menutup kemungkinan kata tersebut diadaptasi langsung dari bahasa Arab atau Turki. Mengingat banyak pihak di Indonesia yang memiliki hubungan dengan bangsa Arab sebelum orang-orang Eropa datang.

Sebelum dapat dikonsumsi, biji kopi harus melalui serangkaian proses yang panjang. Proses pengolahan biji kopi diawali dengan sortasi (pemilihan) biji kopi, yakni dipilih biji yang utuh atau yang pecah dan pemilahan menurut ukuran biji. Proses selanjutnya adalah pengupasan buah yang dapat dilakukan secara mekanik dengan mesin Pulper. Setelah buah dikupas, dilakukan proses fermentasi yang bertujuan untuk mengeluarkan lapisan lendir yang masih melekat pada kulit tanduk. Tahap selanjutnya adalah pencucian untuk memisahkan lapisan lendir yang melekat pada biji. Pencucian ini bisa dilakukan secara manual maupun dengan alat pencuci. Setelah biji kopi dicuci, biji kemudian dikeringkan hingga kadar airnya tinggal 6%. Proses pengeringan dapat dilakukan dengan mesin pengering selama 18-20 jam atau dengan menggunakan sistem rumah pengering selama 30-40 jam. Setelah proses pengeringan selesai, biji kopi didiamkan selama 24 jam untuk menyesuaikan dengan suhu lingkungan. Selanjutnya dilakukan pengupasan kulit tanduk dengan menggunakan mesin Huller tipe Engelberg baru kemudian biji kopi digiling dengan tiga gilingan dasar (regular, drip, dan fine drip). Jika serangkaian proes tersebut telah selesai, kopi siap untuk didistribusikan (Manastas, 2013: 38).   

Pengolahan biji kopi menjadi minuman kopi diawali dengan menggoreng biji kopi tanpa menggunakan minyak (disangrai) sampai biji kopi berwarna kecoklatan. Di beberapa daerah, kopi ada yang disangrai dengan campuran beras dan kelapa yang telah dipotong kecil-kecil. Setelah disangrai, biji kopi kemudian ditumbuk dengan alat tumbuk (lumpang dan alu) atau digiling dengan menggunakan mesin giling. Tahap selanjutnya adalah pengayakan untuk mendapatkan tekstur kopi yang lebih halus. Barulah setelah biji kopi menjadi bubuk halus, maka bubuk kopi ini siap untuk diolah menjadi berbagai minuman sesuai selera.

Minuman kopi yang ada saat ini sangatlah beragam. Tiap jenis minuman kopi memiliki proses penyajian dan pengolahan yang unik. Berikut ini adalah beberapa jenis minuman kopi yang banyak dijumpai di Indonesia :

  1. Kopi Hitam, merupakan hasil ekstraksi langsung dari perebusan biji kopi yang disajikan tanpa penambahan perisa apapun
  2. Espresso, merupakan minuman kopi yang dibuat dengan mengekstraksi biji kopi menggunakan uap panas pada tekanan tinggi
  3. Latte, merupakan minuman sejenis espresso yang diberi tambahan susu dengan perbandingan susu dan kopi 3 : 1
  4. Cappuccino, merupakan minuman kopi dengan penambahan susu, krim, dan serpihan cokelat
  5. Kopi Moka, serupa dengan cappuccino dengan penambahan sirup cokelat
  6. Kopi Tubruk, merupakan minuman kopi asli Indonesia yang dibuat dengan memasak biji kopi bersama dengan gula

Selain berbagai jenis minuman kopi di atas, di Kabupaten Tulungagung terdapat beberapa tradisi minum kopi yang cukup unik. Misalnya di Kecamatan Sendang ada istilah Kopi Gigit, dimana para penikmat kopi akan menggigit gula merah sebelum kemudian meminum secangkir kopi. Tradisi yang tak kalah unik adalah nyethe, yakni mengoleskan ampas kopi yang telah diminum ke batang rokok yang akan dikonsumsi dengan tujuan untuk menambahkan sensasi aroma.

Sekian dulu sekelumit cerita pengantar tradisi nyethe yang ada di Kabupaten Tulungagung. Selengkapnya mengenai tradisi nyethe ini akan penulis ceritakan di tulisan "Nyethe, Membatik di Atas Rokok Part 2". Jangan sampai ketinggalan ya...


Posting Komentar

0 Komentar